Bagaimana Jika Kamu Memilih Tersenyum Selama Dua Bulan?
Sadar dan Hadir Penuh
Di jalanan yang tak berbatu, berdiri, dan bergerak kembali.
Tanpa sadar ternyata tali sepatu kanan terlepas dari ikatannya. Tanpa panjang
pikir, duduk sejenak, mengikat tali sepatu kembali. Sambil kubersihkan sisa - sisa
lumpur yang menempel di sepatu, karena kemarin itu hujan lebat membuat jalanan
itu licin dan berlumpur. Kembali kumelangkah dengan sedikit memerhatikan
jalanan, agar tidak terpeleset dan jadi bahan tertawaan orang - orang di
sekitarku.
Aku
tidak tahu sudah berapa kali aku melewati jalan itu. Pastinya itu jalanan setiap
hariku, lebih dari dua kali aku harus melewati jalan itu. Setiap aku
melangkahkan kaki di jalan ini, akal sehatku sering sekali memberikan sinyal ke
otakku dan kembali lagi di transfer kehatiku, “ayo, langkahkan dengan penuh
kesadaran”. Kalimat ini mengingatkanku kepada satu situasi yang tak mudah untuk
aku pahami apalagi sampai aku melakukan. Bahwa pada hakikatnya jalan itu tidak
terlalu panjang untuk kulangkahkan. Tidak juga sampai membuatku lelah.
Setiap
hembusan napas dan dalam posisi sadar, aku selalu menghadirkan versi terbaik
diriku di jalan ini. Menyatukan panggung belakang dan panggung depan sebuah keharusan.
Sebelumnya, bisa saja aku memilih untuk memperlihatkan panggung depanku saja
dengan menyimpan panggung belakang (karena di jalan lain itu bukan sebuah
keharusan). Looking my self, lihat diriku sendiri. Itu percakapanku sendiri di
dalam hati, karena tidak bisa kutemukan juga dipercakapan yang lain.
Usaha
untuk memberikan panggung yang ideal itu adalah kebiasaan yang harus kutanamkan.
Namun sebagai seorang manusia, aku justeru sudah pernah menampilkan yang “ideal”
itu menjadi versi dariku. Ketika banyak hal yang harus kupertimbangkan dalam
setiap situasi, justeru akan mempersulit energi yang positif yang mengalir dari
dan untukku.
Bahasa Universal Kebaikan
Aku
pun tersenyum dalam setiap pandangan. Karena memang menurutku bahasa kebaikan
yang paling universal adalah memberikan senyum kepada setiap orang. Mudah saja,
karena aku tidak terlalu memperdulikan akan manfaatnya aku senyum kepada siapa,
di mana, dan kapan. Apalagi jika aku harus mengunci bahwa senyumanku itu “harus”
dibalas dengan senyum juga. Jika tidak! Apakah aku harus mengutuk apa itu
keharusan? Ini yang kubangun agar bahasa yang universal itu bisa hadir penuh
dalam situasi seperti apapun. Jika idealnya seperti berbalas pantun, maka ruang
komunikasi non verbal itu akan melahirkan benci.
Setiap
langkah, pagi, siang, dan sore di jalan itu akan kujadikan dalam wadah proses
belajar. Hingga kelak keabadiaan sebuah pengalaman ini akan melahirkan
investasi kebaikan dikemudian hari. Situasi menjadi bahan ingatan yang sudah
membekas dalam waktu singkat ini akan me-refresh kembali tujuan akan hadirnya
langkah kaki di jalan ini. Sebab jalan ini dipilih bukan untuk terapi menenangkan
diri. Walaupun beberapa hari yang lalu pernah membangun sebuah pola, bahwa ini
adalah jalan yang tepat untuk segera lari dari satu situasi yang kuanggap titik
terendah dalam masa penentuan makna dan jati diriku.
Pernah
sekali aku berhenti di jalan ini, karena ada satu tiang besi yang baru di
tancapkan di pinggir jalan ini. Membawa alam penasaranku bertanya, kapan tiang ini
akan mengalirkan cahaya? Kembali di sini aku memandang kejauhan akan masih panjangnya
jalan yang harus kutempuh untuk sampai kepada merah putihnya bangunan yang
memiliki tujuh ruangan itu. Diam sejenak, kembali kupandang hijaunya alam yang
mengelilingiku. Refleksi menjadi santapan sehari - hariku di jalan ini. Ini masih 2 bulan di jalanan ini, masih
panjang cerita dan saksi - saksi yang tak akan ternilai. Bagi ku walau pun
masih singkat, tapi sudah melahirkan sebuah pola hidup yang belum pernah kudapatkan
di tempat lain.
Tags : Linimasaku