-->

Agustus 11, 2018

Makalah : Agama, Konflik dan Integrasi


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Seorang sosiolog mendefinisikan agama sebagai “sebuah sistem keyakinan dan praktek sebagai sarana bagi sekelompok orang untuk menafsirkan dan menanggapi apa yang mereka rasakan sebagai pengada adi kodrati (supranatural) dan kudus”. Defenisi ini sangat berguna bagi analisis sosiologis, karena menekankan sifat sosial dan korporasi sebuah agama serta membedakan agama dengan gerakan sekuler yang mungkin juga berhubungan dengan nilai-nilai yang mungkin juga berhubungan dengan nilai-nilai yang penting.

Agama berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya lebih dari perilaku moral. Agama menawarkan suatu pandangan dunia dan jawaban atas berbagai persoalan yang membingungkan manusia. Agama mendorong manusia untuk tidak selalu memikirkan kepentingan diri sendiri melainkan juga memikirkan kepentingan sesama. Perilaku yang baik mungkin tumbuh dari pandangan dunia semacam itu, namun tanggapan religius beranjak lebih jauh daripada sekedar mengikuti norma-norma perilaku konvensional. Agama bisa juga menyebabkan konflik dan integrasi.

Dalam rentang waktu Januari 1990 hingga  Agustus 2008, ditemukan 832 insiden konflik keagamaan. Sekitar duapertiga dari keseluruhan insiden mengambil bentuk aksi damai, sedangkan sepertiga lainnya terwujud dalam bentuk aksi kekerasan. Dari 547 insiden aksi damai, 79% (433) insiden berupa aksi massa, sedangkan 21% (144) sisanya berupa aksi non-massa. Sekitar (85%) aksi massa berupa aksi demonstrasi, longmarch, pawai atau tablig akbar, disusul bentuk delegasi/pengaduan sebesar 13%. Sisanya, 3% dalam bentuk aksi mogok/boikot dan pertunjukan seni/budaya.Aksi non-massa (96%) terutama berbentuk petisi, siaran pers atau jumpa pers, dan sisanya berbentuk penyebaran/pemasangan pamflet/spanduk dan gugatan hukum/class action/uji materi.

Adapun aksi kekerasan, dari 285 insiden kekerasan terkait isu keagamaan 77% berupa penyerangan. Sedangkan 18% insiden kekerasan berupa bentrokan, dan sisanya, 5%, berupa kerusuhan atau amuk massa. Sementara itu, dari sisi sasaran, 111 kasus berupa penyerangan hak milik terkait isu keagamaan dari total 285 insiden kekerasan keagamaan.Menyusul aksi penyerangan orang/kelompok orang terkait isu keagamaan, dengan 82 kasus, dan selanjutnya oleh bentrok antarkelompok warga, sebanyak 41 kasus.Subjenis-subjenis kekerasan lainnya hanya mencatat tingkat di bawah 15 kasus.

Dilihat dari segi periode, insiden kerusuhan/amuk massa, yang berdampak pada korban jiwa maupun kerusakan pada properti milik kelompok keagamaan, terjadi hanya pada dua periode rentang waktu selama kurun 19 tahun terakhir. Pertama, 10 insiden kerusuhan/amuk massa pada periode 1995-1998 yang menandai periode akhir rezim Orde Baru hingga memasuki masa transisi menuju demokrasi. Kedua, 4 insiden kerusuhan/amuk massa pada periode 2005-2006 dalam masa pemerintahan demokrasi di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono.

Sementara itu, insiden kekerasan berupa bentrokan juga tampak terbatas pada beberapa periode tertentu, kendati dengan intensitas yang lebih tinggi. Puncak insiden bentrokan terjadi pada tahun 1999 dengan 21 insiden, kemudian agak menurun di tahun berikutnya dengan 17 insiden. Tercatat hanya ada 2 (dua) insiden bentrokan pada periode akhir rezim Orde Baru, sedangkan periode pemerintahan demokratis Susilo Bambang Yudhoyono justru mencatat 6 (enam) insiden bentrokan selama 2005-2007.

Puncak insiden kekerasan berupa penyerangan adalah pada tahun 2000 dengan 38 insiden, dan tahun 2006 dengan 27 insiden. Pada tahun 2007 insiden penyerangan sempat turun menjadi 12 insiden, tetapi pada tahun berikutnya cenderung meningkat.Hingga akhir Agustus 2008 saja telah tercatat 13 insiden penyerangan terkait isu konflik keagamaan.Adapun dari segi bentuknya, jenis aksi penyerangan terbanyak berupa pengeboman, disusul oleh perusakan, dan perusakan yang disertai penjarahan/pembakaran. Berdasarkan laporan harian Kompas dan kantor berita Antara, seperti disimpulkan Ihsan Ali Fauzi dkk, selama Januari 1990 hingga Agustus 2008, wilayah persebaran aksi damai terkait konflik keagamaan di Indonesia lebih luas dibandingkan dengan aksi kekerasan. Sementara insiden kekerasan terkait konflik keagamaan terjadi di 20 provinsi, insiden aksi damai terjadi di 28 dari total 33 provinsi di Indonesia. Dari sisi penyebaran, Provinsi-provinsi dengan tingkat insiden aksi damai tinggi (>25 insiden) meliputi: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Tengah. Sementara itu, tingkat insiden kekerasan yang tinggi (>25 insiden) dapat ditemukan secara berturut-turut di Sulawesi Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Maluku dan Jawa Timur.

Adapun dari segi kelompok pelaku aksi damai, terkait konflik keagamaan selama periode 1990-2008 didominasi oleh kelompok keagamaan seperti kelompok kemasyarakatan dan kelompok mahasiswa/pemuda, masing-masing sekitar seperlima dari total insiden aksi damai yang terjadi (21%). Sisanya, insiden aksi damai didominasi oleh kelompok warga (5%), kader/simpatisan partai politik (3%) dan kelompok pelajar/remaja (1%). Dari segi jumlah pelaku yang terlibat, sekitar 35% insiden aksi damai berbentuk aksi massa melibatkan pelaku dalam jumlah ratusan. 22% insiden lainnya melibatkan pelaku dalam jumlah puluhan, dan 17% lainnya dalam jumlah ribuan.Hanya 6% insiden aksi damai yang melibatkan pelaku dalam jumlah beberapa/belasan.

Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang agama, konflik dan juga integrasi. Dalam makalah ini sudah diusahakan untuk mencapai kualitas dan juga pembahasan tentang tema yangg sudah disuguhkan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengkaji agama, konflik dan integrasi sesuai dengan batasan kajian Sosiologi Agama.
1.3. Tujuan Penulisan     
Adapun beberapa tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1.       Memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi
2.       Mengetahui  apa agama jika dilihat dari Sosiologi Agama
3.       Mengetahui konflik agama yang pernah terjadi dan pembahasan menggunakan teori dan tawaran menurut Sosiolgi Agama?
4.       Mengetahui integrasi agama yang ada dalam masyarakt dan bangsa.
1.4. Manfaat Penulisan
1.    Dengan dibuatnya makalah tentang teori-teori fungsional diharapkan agar:
2.    Menambah wawasan dan pengetahuan pembaca
3.    Mengetahui teori agama, konflik serta integrasi agama itu sendiri.
4.    Mampu menganalisis fungsi dan peranan agama dalam masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN
A. AGAMA
2.1 Pengertian Agama Secara Sosiologi
          Para ilmuwan  menghadapi banyak kesulitan dalam menghadapi dan merumuskan agama dengan rapi. Masalah pokok dalam mencapai suatu defenisi yang baik ialah dalam menentukan di mana batas-batas gejala itu harus ditempatkan. Seperti yang dikemukakan oleh Roland Robertson (1970), ada dua jenis utama dalam mendefenisikan agama: inklusif dan eksklusif.

Defenisi inklusif merumuskan agama dalam arti seluas mungkin, yang memandangnya sebagai setiap sistem kepercayaan dan ritual yang diresapi dengan “kesucian” atau yang diorientasikan kepada “penderitaan manusia yang abadi”. Mereka yang menyukai pandangan inklusif pada umunya melihat agama bukan saja dari sistem teistik yang diorganisasikan sekitar konsep tentang kekuatan supernatural, tetapi juga berbagai sistem kepercayaan nonteistik seperti komunisme, nasionalisme dan humanisme.

Defenisi eksklusif membatasi istilah agama itu pada sistem-sistem kepercayaan yang mempostulatkan eksistensi makhluk, kekuasaan, atau kekuatan supernatural. Sistem-sistem kepercayaan seperti komunisme atau humanisme, karena tidak mencakup suatu dunia supernatural, secara otomatis dikeluarkan, meskipun diterima bahwa sistem-sistem kepercayaan nonteistik demikian itu mempunyai elemen-elemen yang sama dengan sistem-sistem keagamaan.
Berikut ini adalahh contoh-contoh yang baik mengenai defenisi agama yang inklusif.

Suatu agama ialah suatu sistem kepercayaan yangg disatukan oleh praktek-praktek bertalian dengan hal-hala yang yang suci, yakni, hal-hal yang dibolehkan dan dilarang - kepercayaan dan praktek-praktek yang mempersatukan suatu komunitas moral yang disebut dengan Gereja, semua mereka yang terpaut satu sama lain (Dukheim, 1965:62, aslniya 1912)
Saya merumuskan agama sebagai seperangkat bentuk dan tindakan simbolik yang menghubungkan manusia dengan kondisi akhir eksistensinya (Bellah, 1964:359)
Jadi, agama dapat dirumuskan sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktek di mana suatu kelompok manusia berjuang menghadapi masalah-masalah akhir kehidupan manusia (Yinger, 1970:7)

2.2 Batasan Agama
Agama dapat dimaknai sebagai suatu sistem kepercayaan dan tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan yang gaib (Nanang Martono, 2014). Bouquet mendefenisikan agama sebagai hubungan yang tetap antara diri manusia dengan yang bukan manusia yang bersifat suci, supernatural, dan berada dengan sendirinya dan mempunyai kekuasaan absolut yang disebut dengan Tuhan. Nottingham (1954) berpendapat bahwa agama merupakan gejala yang ada di mana-mana, sehingga sedikit membantu usaha-usaha kita untuk membuat abtraksi ilmiah. Lebih lanjut juga ia mengatakan bahwa agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur kedalaman makna mengenai keberadaannya dan keberadaan alam semesta.



Sanderson (1993) menyatakan bahwa agama merupakan suatu ciri kehidupan  manusia yang universal, dalam arti bahwa setiap masyarakat memiliki cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut sebagai agama. Secara sosiologis, konsep agama terdiri dari berbagai konsep yakni, citra, kepercayaan, simbol serta nilai-nilai spesifik tempat makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka. Tidak ada batasan yang pasti mengenai agama dalam makna sosiologis.

Satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah sosiologis tidak pernah memberikan penilaian bahwa agama yang satu lebih baik daripada agama yang lain dan tidak pernah mencari makna agama mana yang paling benar. Agama itu memiliki kedudukan yang sama dan merupakan suatu bentuk kesatuan dengan manusia. Selain itu, agama merupakan sebuah isu yang berkaitan dengan kepercayaan dan para sosiolog berurusan dengan hal-hal yang sifatnya empiris atau hal-hal yang dapat diamati dan dapat diukur. Sosologi lebih memperlajari peranan agama dalam mempengaruhi perilaku individu serta kehidupan masyarakat.

2.3 Sifat Agama

Agama merupakan salah satu ciri kehidupan  manusia yang universal dalam arti semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuuhi syarat untuk disebut sebagai agama. Banyak dari apa yang berjudul agama termasuk dalam superstruktur. Agama yang terdiri dari tipe-tipe, simbol, kepercayaan dan nilai spesifik dengan mana mahkluk manusia menginterpretasikan eksistensi mereka. Akan tetapi agama juga mengandung komponen ritual, maka sebagaian agama tergolong juga dalam struktur sosial.

Perhatian kita harus bersifat ilmiah. Kita ingin mengetahui agama itu, bagaimana bentuk-bentuknya sepanjanag waktu dan ruang dan bagaimana agama itu berubah sesuai dengan pengaturan material. Pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut realitas gejala supernatural (apakah Tuhan atau makhluk ataupun kekuatan supernatural itu ada atau tidak) berada di luar batasan ilmiah.

Tentu saja, banyak orang yang mengemukakan bahwa suatu pendekatan ilmiah terhadap studi mengenai gejala agama tidak memadai, jika tidak mungkin secara logika, mereka berpendapat bahwa pendekatan demikian tidak akan menghasilkan pandangan ke depan yang sahih dan hanya dapat berfungsi untuk mengubah makna spiritual yang sesungguhnya dari gejala demikian. Akan tetapi para ilmuwan  secara sistematis telah mempelajarinya.

B. INTEGRASI  
   
Pengertian integrasi  adalah proses penyesuaian unsur-unsur yang berbeda dalam masyarakat sehingga menjadi satu kesatuan. Unsur-unsur yang berbeda tersebut meliputi perbedaan kedudukan, sosial, ras , etnik, agama, bahasa, kebiasaan, sistem nilai dan norma.

2.4. Konsep-Konsep Integrasi

Persoalan integrasi kelihatannya banyak ditemui pada masyarakat yang sedang berkembang dan yang baru mencapai kemerdekaannya, terutama bagi masyarakat yang bersifat majemuk. Integrasi memiliki konsep-konsep, bila integrasi gagal maka boleh dikatakan eksistensi masyarakat Indonesia akan hilang. Apalagi masyarakat Indonesia yang plurar ini memang rawan terhadap disintegrasi. Secara populer orang mengatakan bahwa dalam masayarakat kita yang plural ini membutuhkan “kerukunan”.

Kerukunan merupakan suatu kata yang sejuk, romantis dan didambakan, tetapi bila kita melihatnya dalam kerangka konsep sosiologis, ternyata kerukunan bukanlah suatu konsep yang sederhana. Kondisi kerukunan seperti apakah yang kita maksudkan? Berikut adalah defenisi beberapa konsep yang bernuansa “kerukunan”.

  • Integration: keutuhan atau persatuan (proses menjadi satu). Kondisi ini memang bisa menghasilkan kerukunan, tetapi konsep ini lebih sering menekankan pada “keutuhannya” daripada “kerukunannya”. Karena itu harus dibedakan antara integrasi nasional (bersatunya pulau-pulau nusantara ke dalam satu negara bangsa Indonesia) dengena integrasi  (adanya interaksi  yang intensif dan kolaboratif antar warga masyarakat dari berbagai golongan yang berbeda). Pengertian pertama lebih menekankan pada motivasi politis (kekuasaan) dan seringkali menjurus pada cara yang koersif, yang kedua lebih bersifat sosiologis yang adanya kesepakatan nilai dan fungsional yang setara. Jadi, secara sosiologis kita perlu mengusahakan integrasi  yang baik. Dalam kondisi itulah integrasi nasional (secara politis) bisa diperjuangkan dan dipertahankan. Bila pemerintah terlalu sibuk mencari “integrasi nasional” tetapi kondisi integrasi  antar golongan terabaikan, kondisi ini tidak akan sehat dan tidak bisa bertahan lama.
  • Equibilirium: keadaan yang seimbang dan tidak terjadi kesenjangan yang menimbulkan gejolak. Tetapi konsep ini juga bisa bernuansa pasif. Artinya masyarakat seolah-olah tidak dinamis, anggota masyarakat tidak aktif bahkan tidak saling membantu. Kondisi equibilirium bisa juga berarti juga stalemate, yaitu keadaan ketika semua kelompok tidak saling menyerang. Hal ini bukan karena mereka rukun melainkan sama-sama kuat sehingga sama-sama takut.
  • Stability: keadaan yang tenang, mantap dan mapan hampir tidak ada konflik yang mengguncang. Tetapi ini belum tentu menandakan adanya kepuasaan semua pihak belum tentu ada kerukunan, bahkan mungkin laten conflict atau anomosity (rasa tidak senang antarkelompok). Stability sering bernuansa negatif, dalam arti tidak dinamis mempertahankan status-quo. Dalam suatu masyarakat yang stabil biasanya ada  kelompok penguasa yang amat kuat dan memaksakan stabilitas tersebut, seperti Indonesia pada Orde Baru.
  • The absence of conflict: keadaan nyaris tanpa konflik, tetapi ini biasanya terjadi karena ada kekuatan yang dapat menekan kelompok-kelompok agar tidak berkonflik. Keadaan ini sering bersifat semu dan realistik karena konflik merupakan gejala yang melekat pada semua masyarakat. Konflik bahkan memiliki fungsi penting untuk mengoreksi kondisi yang ada. Kondisi tanpa konflik ini bisa berbahaya karena masyarakat tidak memiliki lembaga penyalur ketidakpuasan. Keadaan ini sering berakhir dengan konflik yang eksplosif.
  • Tolerance: sikap menahan diri, bisa menerima keadaan, tidak menyerang kelompok lain. Hal ini memang bisa mengahasilkan kerukunan, tetapi sangat bersifat dangkal dan “minimalis”. Bila yang dipentingkan adalah kemampuan semua pihak manahan diri, maka rasa tidak senang antar budaya (cultural animosity) atau konflik yang tersembunyi (hidden conflict) dan rasa segan untuk bekerja sama bisa saja masih tetap saja. Kerukunan terjadi tidak akan berkembang menjadi lebih kuat.
  • Solidarity (kesetiakawanan): kondisi yang lebih positif daripada toleransi. Hal ini menunjukkan adanya sikap atau mau menolong dan bersatu, ada kerukunan, tetapi masih ditandai oleh kesenjangan (ketidaksetaraan) dan eksploitasi secara tersembunyi masih bisa terjadi. Contohnya, pada masa Orde Baru tatkala sering terjadi kesenjangan yang mencolok antar golongan, lalu pemerintah mencanangkan “Hari Kesetiakawanan  Nasional”. Dengan mengerahkan golongan yang kuat untuk memberi santunan kepada yang lemah, tetapi struktur yang tidak adil masih tetap saja dipertahankan. Motivasi politisnya adalah untuk mencegah konflik .
  • Conformity: kepatuhan warga negara sehingga dapat menimbulkan suasana rukun. Tetapi kondisi ini bernuansa pasif, tidak aktif, tidak kritis, bahkan bisa berbahaya bila semua orang mematuhi segala keputusan penguasa tanpa syarat. Konformitas yang terlalu kuat pada nilai dan norma yang ada bisa menghambat inovasi.
  • Peace: kondisi tidak berkelahi atau berperang, bisa bernuansa rukun tetapi juga bernuansa pasif (tidak saling menyerang, tetapi mungkin tidak saling menyayangi atau bekerjasama). Suatu kedamaiaan masih harus diisi lagi dengan tindakan yang lebih proaktif. Orang sering mengkaitkan kedamaian dengan keadilan , orang tidak akan mau berdamai bila belum mendapat keadilan, kecuali dipaksa. Bagi masyarakat kelas atas yang telah menikmati segala-galanya perdamaian adalah kondisi yang paling didambakan, tetapi bagi golongan miskin dan tertindas yang masih harus memperjuangkan kehidupannya terutama melawan ketidakadilan, kata perdamaian sama dengan menerima keadaan.
  • Cohesion: kondisi kesatuan yang sangat kuat ada kerjasama atau kekompakan, tetapi ada nuansa fanatik kelompok. Misalnya, Jepang pada masa Perang Dunia II. Dalam masyarakat modern yang komplek dan heterogen, konsep ini nampaknya kurang realistik bila bersifat terlalu eksklusif.
  • Compromise: keadaan saling memberi konsensi (mengalah) untuk menghindari terjadinya konflik. Pada prinsipnya pendekatan ini tidak bersifat progresif (maju) tetapi lebih bersifat mundur selangkah. (1=1/2 + ½) dengan kata lain setiap kelompok rela memperoleh setengah. Keadaan ini bisa berbahaya jika yang dikorbankan adalah hal-hal yang merupakan prinsip (cita-cita) dasar.
  • Harmony: hampir mirip dengan equibilirium, seimbang, kondisi yang memperlihatkan adanya perbedaan tetapi memiliki nuansa serasi, atau kecocokan dan saling mengisi. Ini dapat dikatakan sebagai kondisi  ideal.
  • Solidity : konsep ini jarang dipakai, sebenarnya ini menujukkan kualitas kekenyalan aau kerukunan yang memiliki daya tahan dan daya tangkal serta tidak mudah digoyang atau diprovokasi pihak luar.
  • Sinergy: bila kompromi adalah masing-masing pihak yang mengorbankan apa yang ada demi mencapai kesepakatan, maka sinergi adalah bersepakat serta bersatu dalam perbedaan. Dalam konsep sinergi, semua pihak yang berlwan menggabungkan kekuatan masing-masing untuk menghasilkan kekuatan yang berlipat ganda (1+1 yang bukan hanya menjadi 2 tetapi bisa menjadi 3, 4, bahkan lebih). Sinergi tidak bersifat  “menang-kalah” atau zero sum game (bila satu pihak untung, pihak lain pasti rugi) tetapi lebih bersifat win-win solution. Ini memang tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin. Yang penting adalah kreativitas untuk mengubah pertentangan menjadi kerjasama yang produktif. Konsep ini cukup ideal, tetapi untuk diterapkan bagi masyarakat Indonesia masih memerelukan suatu perubahan paradigma berpikir.
Dari uraian tentang berbagai defenisi kerukunan tersebut, maka bangsa Indonesia harus bersepakat bahwa arti kerukunan yang diinginkan dan diperjuangkan bersama. Golongan kaya yang sudah mapan pasti menginginkan suasana rukun yang yang bernuansa bebas konflik agar dapat menikmati kekayaan dengan tenang. Tetapi tidak demikian untuk kaum yang teraniaya seperti orang miskin, buruh, petani, pedagang kaki lima, dan sebagainya, yang masih menderita karena ketidakadilan.
Defenisi pertama yang dikemukakan di atas sangat terkenal dan telah telah berulangkali oleh banyak sosiologi. Bagi Durkheim, karakteristik agama yang penting ialah bagi agama yang penting bahwa agama itu diorientasikan kepada sesuatu yang dirumuskan oleh manusia suci/sakti, yakni, objek referensi yang dihargai dan malah dahsyat. Dunia ini berlawanan secara tajam dengan dunia profan, atau dunia yang biasa, eksistensi sehari-hari.
Defensisi kedua dan ketiga yang dikutip di atas menekanakan bahwa agama itu, di atas segalanya, diorientasikan kepada “penderitaan akhir” umat manusia. Apa saja keprihatinan itu? Menurut Yinger (1970), yang defenisinya sendiri membuat keprihatinan itu sebagai esensi daripada agama, bahwa keprihatinan itu berkaitan dengan kenyataaan adanya kematian, perlunya mengatasi frustasi, penderitaan, dan tragedi, perlunya mengendalikan permusuhan dan egosentris, dan perlunya “mengurusi kekuatan yang menekan kita, yang membahayakan kehidupan kita, kesehatan kita, dan kelanjutan hidup dan kelancaran bekerja kelompok di mana kita hidup, kekuatan-kekuatan yang oleh pengetahuan empiris kita tidak dapat menanganinya secara memadai” (Yinger, 1970:6)
2.5. Syarat terjadinya integrasi sosial
            Anggota-anggota masyarakat merasa bahwa mereka berhasil saling mengisi kebutuhan-
kebutuhan mereka. Masyarakat berhasil menciptakan kesepakatan bersama mengenai  norma dan nilai-nilai  yang dilestarikan dan dijadikan pedoman dalam berinteraksi antara satu dengan lainnya, termasuk menyepakati hal-hal yang dilarang menurut kebudayaannya. Norma-norma dan nilai-nilai sosial itu berlaku cukup lama, tidak mudah berubah, dan dijalankan konsisten oleh seluruh anggota masyarakat.

Cepat Lambatnya integrasi sosial dipengaruhi factor-faktor sebagai berikut :
Homogenitas kelompok
Semakin homogen(satu suku bangsa) suatu kelompok atau masyarakat, semakin mudah pula proses integrasi antara anggota masyarakat tersebut.
Besar kecilnya kelompok
Dalam kelompok kecil, hubungan sosial antaraanggotanya terjadi semakin intensif sehingga komunikasi dan tukar menukar budaya semakin cepat. Sebaliknya, dalam kelompok besar integrasi semakin sulit dicapai
Mobilitas geografis
Semakin sering anggota masyarakat datang dan pergi, akan semakin sulit proses integrasi dicapai. Sebaliknya, mobilitasnya rendah,integrasi mudah dicapai
Efektivitas komunikasi
Semakin efektifitas komunikasi berlangsung, semakin cepat integrasi dicapai. Sebaliknya semakin tidak efektif komunikasi semakin lambat dan sulit integrasi dicapai.

2.6 Faktor-faktor pendorong integrasi
·         Toleransi terhadap kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda
·         Kesempatan yang seimbang dalam ekonomi bagi berbagai golongan masyarakat         dengan latar belakang kebudyaan yang berbeda
·         Sikap saling menghargai orang lain dan kebudayaannya.
·         Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat
·         Persamaan unsure-unsur kebudayaan
·         Perkawinan campuran (amalgamasi)
·         Adanya musuh bersama dari luar
·         Paksaan suatu kelompok sosial terhadap kelompok lain
·         Saling ketergantunagn bebagai kelompok sosial di bidang ekonomi
·         Cross-sutting affliations (pertalian seseorang sebagai anggota beberapa kelompok yang berhubungan saling menyilang. Cross-cutting loyalities (kesetian seseorang terhadap beberapa kelompok yang berhubungan saling menyilang.
2.7. Taraf terwujudnya integrasi sosial
  • taraf akomodasi adalah proses penyesuaian diri atau kerjasama antaraindivu atau kelompok dalam bidang-bidang terbatas.Pada taraf ini tidak ada konflik.
·         taraf kooperasi terjadila masing-masing pihaki berusaha mengatasi perbedaan dan mengakomodasi keinginan, harapan atau kebutuhan yang sama.
  • taraf koordinasi adalah dan beberapa individu atau kelompok sudah mulai berseda bekerjasama dalam bidang-bidang yang semakin luas sehingga menuntut pembagian kerja dan koordinasi.
  • tarap asimilasi adalah taaf ketika sudah tercapai situasi kesamaan selera, bahasa, gaya hidup, norma serta kepentingan dan tanggung jawab

2.8. Bentuk-bentuk integrasi sosial
1.                  Integrasi normatif, (Paulus Wiroutomo, 2012) terjadi akibat adanya norma-norma yang berlaku di masyarakat. Contoh bhinneka tunggal ika menjadi sebuah norma yang berfungsi untuk mengintegrasikan perbedaan yang ada dalam masyarakat. Integrasi normatif terjadi karena adanya kesepakatan nilai, norma dan nilai-nilai bersama atau adanya rasa solidaritas. Integrasi normatif biasanya memiliki kesamaan dengan sifat-sifat solidaritas mekanik yang diungkapkan oleh Durkheim.
Karenanya, untuk mengidentifikasi seberapa besar derajat integrasi normatif dalam masyarakat bisa diajukan pertanyaan-pertnyaan dasar berikut:
Apakah masih ada nilai-nilai dasar yang disepakati bersama? Seberapa besar masyarakat itu masih menyepakati nilai-nilai dasar tersebut?
Apakah masih terdapat norma-norma bersama?
Apakah ada  rasa identitias yang sama? Seberapa kuat?
Apakah ada cita-cita yang sama? Apakah masih diperjuangkan?
Apakah ada toleransi dan solidaritas antar daerah dan golongan?
            Apabila jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut “positif”, maka masyarakat tersebut memiliki integrasi yang kuat. Karena integrasi normatif banyak menyangkut unsur-unsur budaya, hal ini sering disebut sebagai integrasi budaya
2.                  Integrasi fungsional, terbentuk karena ada fungsi-fungsi tertentu dalam masyarakat. Misalnya suku bugis yang suka melaut difungsikan sebagai penyedia hasil laut.
Integrasi fungsional didasarkan pada kerangka berpikir perspektif fungsional yang melihat masyarakat sebagai suatu sistem yang terintegrasi antar unsur-unsurnya. Ada dua pertanyaan dasar dari integrasi fungsional?
Apa manfaat atau fungsi integrasi nasional bagi masyarakat?
Apakah ada ketergantungan fungsional yang relatif seimbang antar unsur (kelompok atau daerah)?
            Pertanyaan pertama lebih bersifat vertikal sebab mencakup hubungan antar warga masyarakat dengan negara. Apakah ada usaha pemerintah untuk mempersatukan rakyatnya secara politis ke dalam naungan kesatuan benar-benar memang menguntungkan atau menghasilkan kemakmuran dan keamanan bagi rakyat, maka integrasi tersebut dapat dikatakan “fungsional”.
            Pertanyaan keduapada pola hubungan horizontal yaitu antar warga atau kelompok dalam masyarakat secara individu, kelompok golongan dalam masyarakat.
3.                  Integrasi koersif, terjadi bukan sebagai hasil dari kesepakatan normatif maupun ketergantungan fungsional antar unsur-unsur dalam masyarakat, tetapi merupakan hasil kekuatan yang sanggup mengikat individu atau unsur-unsur pakasaan dalam masyarakat. Tetapi merupakan hasil kekuatan yang mengikat individu-individu atau unsur-unsur dalam masyarakat sacara paksa. Pertanyaan mendasar untuuk melihatt kekuatan integrasi koersif adalah sebagai berikut:
Apakah ada figur atau kelompok yang memiliki kekuatan untuk mengintegrasikan?
Sejauhmana kekuatan itu diimbangi oleh kekuatan-kekuatan lainnya?
Apakah pemisahan dan pembagian kekuasaan efektif dala mengintegrasikan bangsa?

Terbentuk berdasarkan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa. Contoh perusuh yang berhenti mengacau karena polisi menembakkan gas air  mata ke udara.
4.                  Integrasi keluarga, terjadi apabila anggota keluarga sesuai dengan kedudukannya melaksanakan peranannya.
5.                  Integrasi kekerabatan, terbentuk melalui hubungan darah dan perkawinan memiliki nilai-nilai, norma-norma, kedudukan serta peranan sosial yang diakui dan ditaati bersama oleh seluuh anggota kekerabatan.
6.                  Integrasi asosiasi (perkumpulan)dilandasi oleh adanya kesamaan kepentingan atau kesamaan minat, tujuan, kepentingan dan kegemaran. Apabila ketercapaian terdekati, maka intergrasi tercapai.
7.                  Integrasi bangsa. Contoh kerusahan anti cina di jakarta, solo, medan,konflik antar etnis dayak dan madura di kalimantan, konflik agama di maluku, gerakan-gerakan separatism di aceh dan papua, merebaknya tuntutan terhadap orede baru.

C. KONFLIK

2.9. Pengertian Konflik

Sebagai serapan dari bahasa Inggrisconflict,. John M. Echols dan Hassan Shadily (1990: 138)mengartikan konflik sebagai  percekcokan, perselisihan, pertentangan.Conflict sendiri berasal dari kata kerja Latinconfigere yang berarti saling memukul (http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik). Selain itu, juga berarti: A state of disaggreement or argument between opposing groups or opposing ideas or principles, war or battle, struggleto be in opposition;disagree.(Longman Dictionary of Contemporary English, 1987: 212). Konflik dalam definisi ini diartikan sebagai ketidakpahaman atau ketidaksepakatan antara kelompok atau gagasan-gagasan yang berlawanan.Ia juga bisa berarti perang, atau upaya berada dalam pihak yang bersebrangan. Atau dengan kata lain, ketidaksetujuan antara beberapa pihak.

Kalau dikaitkan dengan istilah sosial, maka konflik sosial bisa diartikan sebagai suatu pertentangan antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan (http://etno06.wordpress.com/2010/01/10/agama-dan-konflik-sosial/. Dengan kata lain interaksi atau proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau setidaknya membuatnya tidak berdaya.
Otomar J. Bartos dalam (Novri Susan: 63), mengartikan konflik sebagai situasi dimana para aktor menggunakan perilaku konflik melawan satu sama lain dalam menyelesaikan tujuan yang berseberangan atau mengekspresikan naluri permusuhan. Adapun definisi klasik mengenai konflik dikemukakan Louis Coser, berikut ini:

a struggle over values and claims to secure status, power, and resources, a struggle in which the main aims of opponents are to neutralize, injure, or eliminate rivals

Berdasarkan definisi ini,(Ihsan Ali Fauzi, dkk. “Pola-Pola Konflik Keagamaan di Indonesia (1990-2008), mengartikan konflik keagamaan sebagai, “perseteruan menyangkut nilai, klaim dan identitas yang melibatkan isu-isu keagamaan atau isu-isu yang dibingkai dalam slogan atau ungkapan keagamaan” Dari ragam definisi tersebut bisa disimpulkan bahwa konflik merupakan pertentangan atau perselisihan yang bisa mengambil bentuk perselisihan atau pertentangan ide maupun fisik. Atau dengan kata lain, adanya interaksi yang terjadi namun dipisahkan oleh perbedaan tujuan sehingga melahirkan ketidaksetujuan, kontroversi atau bahkan pertentangan.

2.10.Bentuk-Bentuk konflik
Lewis A. Coser
1.    Konflik realistis berasal dari kekecewaan individu atau kelompok terhadap system dan tuntan yang terdapat dalam hubungan sosial. Contoh para karyawan melakukan pemogokan terhadap  manajemen perusahaan
2.    Konflik non realistis berasal dari kebuthan pihak-pihak tertentu untuk meredakan ketegangan. Contoh balas dendam dengan menggunakan ilmu gaib.
3.    Konflik in-group yaitu konflik yang terjadi dalam kelompok. Contoh konflik antaranggota geng
4.    Konflik out-group yaitu konflik yang terjadi antara suatu kelompok dengan kelompok lain. Contoh konflik masyarakat madura dengan masyarakat Dayak
Dahrendorf
1.    Konflik peranan sosial. Contoh suami dengan isteri dam mendapatkan penghasilan
2.    Konflik diantara kelompok-kelompok sosial
3.    Konflik diantara kelompok yang terorganisir dan tidak terorganisir
4.    Konflik diantara satuan nasional. Contoh konflik antara partai, negara atau organisasi internasional
 Soerjono Soekanto
1.    Konflik pribadi terjadi karena perbedaan pandangan dsb
2.    Konflik rasial timbul karena perbedaan ciri fisik, kepentingan dan kebudayaan.contoh konflik orang kulit hitam dengan kulit putih
3.    Konflik antar kelas sosial timbul karena perbedaan kepentingan. Contoh konflik buruh dengan majikan
4.    Konflik politikterjadi akibat perbedaan kepentingan politis
5.    Konflik bersifat internasional terjadi karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh terhadap kedaulatan rakyat. Contoh konfik antarnegara mengenai batas wilayah.

2.11. Faktor Faktor Penyebab Konflik

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa steril dari interaksi, baik sosial, politik, budaya, agama dan lain-lain. Perbedaan ciri-ciri bawaan individu dalam suatu interaksi seperti ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya menjadikan konflik sebagai situasi wajar dalam setiap masyarakat. Dengan kata lain, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.Dalam ranah interaksi tersebut, seperti disebutkan (Novri Susan,46), konflik kepentingan dan penegasan identitas akan muncul dalam skala berbeda seperti konflik antar-orang (interpersonal conflict), konflik antar-kelompok (intergroup conflict), konflik antar kelompok dengan negara (vertical conflict),  dan konflik antar negara (interstate conflict).(Konflik, terutama yang mengambil bentuk kekerasan telah menjadi kajian banyak psikolog terutama dalam kaitannya dengan aspek-aspek internal manusia. Sigmund Freud misalnya memandang konflik atau kekerasan  sebagai wujud frustasi dari suatu dorongan libidinal yang bersifat dasariyah. Dalam kaitan ini, sejarah membuktikan manusia telah menjadi pemangsa manusia lainnya (Muchtar Lubis, 1988: 45).

George Simmel, salah seorang bapak sosiologi konflik, seperti dicatat Turner, melihat sosiologi pada tiga perspektif yaitu relasionisme, sosiasi dan bentuk-bentuk sosial. Relasionisme memandang bahwa unsur-unsur sosial hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan totalitas dan bukan dalam isolasi.Sementara bentuk-bentuk sosial merujuk pada keberadaan lembaga sosial seperti keluarga, bentuk pertukaran sosial, jaringan dan lain-lain. Adapun sosiasi merupakan proses yang menghubungkan bagian-bagian menjadi suatu system, yang menghubungkan antar-individu menjadi masyarakat.

Dewasa ini, di dunia ketiga, seperti ditulis Uno Steinbach, dalam (Hasymi Ali, 1988: 49), konflik bisa disebabkan oleh adanya perpecahan bangsa, perkembangan yang timpang, bentrokan kultural serta gerakan-gerakan pembebasan Ketegangan-ketegangan pada level kebudayaan misalnya, sangat terkait dengan pembangunan. Kebudayaan dan agama merupakan faktor-faktor unik mengingat keduanya  merupakan unsur penggerak (mobilizing elementas). Meskipun demikian, dalam pandangan Sean Macbride, sebagaimana dicatat (Mochtar Lubis, 1988:  29), konflik yang terjadi lebih banyak disebabkan oleh ketidakadilan, sehingga mestinya para penguasa, pemuka agama, pemimpin politik menyadari bahwa prasyarat kedamaian yaitu keadilan. Dengan kata lain, struktur yang merampas hak-hak dan martabat manusia akan menghambat terciptanya keadilan

Dalam kaitan dengan agama, George Ritzer memandang bahwa terjadinya perubahan sosial, yang tentunya diikuti oleh ragam konflik, sebagai akibat  adanya revolusi politik, revolusi industri atau bahkan urbanisasi mempunyai pengaruh signifikan terhadap pola keberagamaan.Relevansi yang kuat ini melahirkan banyak sosiolog dan karyanyadengan basis agama yang kuatdan sekaligus memperkenalkan sosiolog. Sebutlah misalnya Durkheim, Weber serta Marx (George Ritzer,1988: 8).

Konflik secara laten ada dalam diri manusia. Potensi konflik ini bisa teraktualisasi kalau keliru memahami ajaran agama.Dan bisa juga dipercepat oleh lingkungan baik ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain.Mencermati hal ini, konflik sosial dalam masyarakat menjadi keniscayaan yang bisa disebabkan karena beberapa faktorseperti (http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik, 26 Nov 2010, 19:02):
Pertama, perbedaan pendirian atau perasaan individu. Dalam perspektif lebih luas, seiring dengan perubahan sebagai akibat globalisasi, perasaan dan bahkan pendirian individu, kelompok atau bangsa bisa berubah dan berbeda dalam memberikan respon terhadap setiap perubahan yang ada. Rupanya, pengakuan Donald Michael seperti dikutip (Ziauddin Zardar, 1988:15), bahwa pengendalian kehidupan dunia bisa dilakukan dengan semakin banyaknya informasi dan pengetahuan terbantahkan menunjukkan kebenaran. Faktanya semakin banyak informasi semakin disadari segala sesuatu tidak dapat dikendalikan. Globalisasi komunikasi informasi memberi pengaruh luar biasa kepada cara pandang, perasaan bahkan keputusan-keputusan seseorang.

Kedua, Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Perbedaan nilai-nilai kebudayaan juga berpotensi menimbulkan konflik. Edward C. Stewart, 1985: 49, mencontohkan salah satu nilai budaya Amerika yang to the point, sementara tradisi Jepang sedikit berbeda  Atau antara konsep tabe’ Bugis-Makassar dengan budaya kebanyakan orang Eropa yang kelihatannya tidak terlalu memperhatikan pola interaksi model tersebut.Perbedaan kebudayaan dan nilai-nilai kehidupan semakin kelihatan ketika interaksi masyarakat dunia semakin mudah.

Ketiga, Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, baik menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya atau agama, juga berpotensi konflik.Keempat, perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Dengan demikian, secara lebih spesifik, konflik sosial berbau agama di Indonesia disebabkan oleh:

Keempat, adanya klaim kebenaran. Pluralitas manusia menyebabkan kebenaran diinterpretasi secara berbeda dan dipahami secara absolut. Pemahaman seperti itu akan berpotensi konflik manakala dijadikan landas gerak dalam dakwah.Absolutisme, eksklusivisme, fanatisme, ekstremisme dan agresivisme adalah penyakit-penyakit yang biasanya menghinggapi aktivis gerakan keagamaan. Absolutisme adalah kesombongan intelektual, eksklusivisme adalah kesombongan sosial, fanatisme adalah kesombongan emosional, ekstremisme adalah berlebih-lebihan dalam bersikap dan agresivisme adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik. Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk menuju keselamatan yang dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain menuju keselamatan tersebut. Ini akan memunculkan sentimen agama, sehingga benturan pun sulit dihindari. Fenomena yang seperti inilah yang dapat melahirkan konflik antar agama. Misalnya, peristiwa Perang Salib antara umat Islam dan umat Kristen. Tragedi ini sangat kuat muatan agamanya,dari pada politisnya.

Kedua, wilayah agama dan suku semakin kabur. Kasus ini bisa dilihat pada mantan Menteri Masa Habibi, AM. Saefuddin, ketika “menuduh” Megawati pindah agama, hanya dengan melihat kehadiran Mega dalam suatu tradisi keagamaan suku tertentu.Ketiga, dokrin jihad yang dipahami secara sempit.Keempat, kurangnya sikap toleransi dalam beragama.Kelima, minimnya pemahaman terhadap ideologi pluralisme.

Azyumardi Azra dalam (Idris Thaha, 1999: 91)memandang bahwa kemunculan gerakan-gerakan dengan mengambil pola konflik kekerasan ada dalam tradisi Islam. Penyebabnya kompleks, terkait satu sama lain, seperti dokrinal, politis, sosial, ekonomi, dan lain-lain. Namun demikian,lebih disebabkan oleh keragaman respon terhadap Barat dan Eropa. Respon melihat Barat mendorong upaya pembaharuan dengan modernisme dan reformisme. Respon lain, kelompok ektrem, radikal, Barat penyebab kemunduran muslim. Tidak hanya menjajah tetapi merusak tatanan sistem budaya, sosial, ekonomi, intelektual, merusak institusi pendidikan Islam. Padahal sejatinya banyak institusi yang diperkenalkan Barat lemah, tidak kokoh..Konflik terutama yang mengambilbentuk kekerasan rupanya tidak berdiri sendiri.Ia selalu terkait satu dengan yang lain. Memahami sebab, motif dan sasaran konflik setidaknya bisa membantu mendisain solusinya.

2.12. Upaya Mengatasi Konflik
      1.    Konsiliasi
      2.    Arbitrasi (perwasitan)
      3.    Mediasi
      4.    Koersif

2.13. Akibat/dampak konflik
     1.  Positif (konstruktif)
Bertambah solidaritas kelompok
Muncul pribadi-pribadi yang kuat
Muncul kompromi

Muncul pranata sosial
     2. Negative (destruktif)
Retaknya persatuan kelompok
Hancurnya harta benda
Berubahnya sikap dan kepribadian individu
Munculnya dominasi kelompok yang menang
Timbulnya anarkisme.

2.14. Agama Dan Konflik
Ada beberapa konflik  yang bersumber dari agama mulai dari perbedaan doktrin dan sikap mental, perbedaan suku dan ras umat beragama, perbedaan tingkat kebudayaan, masalah mayoritas dan minoritas pemeluk agama.


2.14.1Perbedaan doktrin dan sikap mental
Semua pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin yang menjadi penyebab dari konflik agama. sadar atau tidak, setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan.
Agama Islam dan Kristen di Indonesia, merupakan agama samawi (revealed religion), yang meyakini terbentuk dari wahyu Ilahi Karena itu memiliki rasa superior, sebagai agama yang berasal dari Tuhan. Di beberapa tempat terjadinya kerusuhan kelompok masyarakat Islam dari aliran sunni atau syiah. Bagi golongan Sunni, memandang Islam dalam keterkaitan dengan keanggotaan dalam suatu umat, dengan demikian Islam adalah juga hukum dan politik di samping agama. Islam sebagai hubungan pribadi lebih dalam artian pemberlakuan hukum dan oleh sebab itu hubungan pribadi itu tidak boleh mengurangi solidaritas umat, sebagai masyarakat terbaik di hadapan Allah dan mereka masih berpikir tentang pembentukan negara dan masyarakat Islam di Indonesia. Kelompok ini begitu agresif, kurang toleran dan terkadang fanatik dan malah menganut garis keras.
Sikap mental keagamaan , bahwa ajaran agama pada umumnya membentuk sikap-sikap yang baik seperti persaudaraan, cinta kasih, kesatriaan, dll yang membantu ketentraman dan keamanan masyarakat. Konflik - konflik antar umat beragama juga disebabkan oleh padangan sikap mental yang negaif seperti kesombongan religius, prasangka, dan intoleransi.
2.14.2.Kesombongan religius
Kesombongan religius bisa dikatakan kesombongan kayal yang melahirkan sikap memandang rendah (menghina) pemeluk agama lain. Kesombongan religius ini memandang bahwa agamnya memiliki ajaran yang paling benar dan merasa lebih tinggi daripada semua pemeluk agama yang lain. Dalam asap kesombongannya mereka merasa tahu lebih tepat mengenai rahasia dunia akhirat dan memastikan diri akan masuk surga, sedangkan penganut yang agama yang lain akan masuk neraka.
2.14.3 Prasangka
Kesombongan kayal memandang sikap rendah pemeluk agama lain. Kesombongan tersebut memandang golongan agama lain serba bodoh dan serba salah, baik ajarannya, ibadatnya, maupun tingkah lakunya di dalam masyarakat, bahkan sampai pada hal-hal yang sepele seperti pakaian dan roman muka, cara berpikir dan berbicara. Keseluruhan kompleks kejiwaan  jenis itu disebut juga dengan istilah prasangka. Karena setiap golongannya agama mempunyai sikap yang sedemikian itu, maka di dalam suatu masyarakat (negara) di mana ada banyak agama, terbentuk suatu supra struktur kayal yang dikuasai oleh sikap-sikap sombong, penghinaan melawan penghinaan, prasangka lawan prasangka, kesemuanya seperti bangunan-bangunan kosong yang didirikan atas landasan emosional.
2.14.4. Intoleransi
Sikap intoleransi juga memicu munculnya konflik ditataran umat beragama karena, sikap intoleransi memiliki sikap fanatisme. Hal ini sering terjadi dalam masyarakat dengan agama heterogen, di mana kelompok golongan luar atau out-group menjadi korban. Seorang fanatikus yang tertutup dalam dunia kecilnya sendiri tidak dapat melihat kebenaran eksistensial ini bahwa manusia - juga beragama wahyu-tidak pernah memiliki kebenaran selengkapnya dari apa pun juga yang ditangkapnya dengan otak, apalagi mengenai kebenaran supra-empiris (masalah iman). Baginya adalah sulit untuk menyadari bahwa pemeluk agama lain pun memiliki kebenaran walaupun tidak lengkap (hanya sebagaian)
2.14.5 Perbedaan suku dan ras pemeluk agama
Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar kelompok dalam masyarakat. Contoh di wilayah Indonesia, antara Suku Aceh dan Suku Batak di Sumatera Utara. Suku Aceh yang beragama Islam dan Suku Batak yang beragama Kristen; kedua suku itu hampir selalu hidup dalam ketegangan.

2.14. 6. Perbedaan tingkat kebudayaan
Agama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan perbedaan budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama. Secara sederhana dapat dibedakan dua kategori budaya dalam masyarakat, yakni budaya tradisional dan budaya modern.
Tempat-tempat terjadinya konflik antar kelompok masyarakat agama Islam - Kristen beberapa waktu yang lalu, nampak perbedaan antara dua kelompok yang konflik itu. Kelompok masyarakat setempat memiliki budaya yang sederhana atau tradisional: sedangkan kaum pendatang memiliki budaya yang lebih maju atau modern. Karena itu bentuk rumah gereja lebih berwajah budaya Barat yang mewah.
Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama di suatu tempat atau daerah ternyata sebagai faktor pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok agama di Indonesia.
2.14.7. Masalah mayoritas dan minoritas golongan agama
Fenomena konflik  mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam masyarakat agama pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan agama. Di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk adalah beragama. Islam sebagai  kelompok mayoritas; sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang minoritas di Indonesia. Sehingga nampak kelompok Islam yang mayoritas merasa berkuasa atas daerah yang didiami lebih dari kelompok minoritas yakni orang Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang Kristen sebagai kelompok minoritas sering mengalami kerugian fisik, seperti: pengrusakan dan pembakaran gedung-gedung ibadah.
2.15. Pola-Pola Konflik Keagamaan
Pola konflik keagamaan dimaksud didasarkan pada kajian yang meliputi: jenis konflik, tingkat atau frekuensi konflik, perkembangan dan persebaran konflik, isu-isu penyebab konflik, pelaku dan dampak yang diakibatkan.

Contoh Konflik Maluku, Konflik Agama
Konfilk di Maluku terjadi pada 19 Januari 1999. Paling sedikit lima ribu orang menjadi korban dan ribuan lainnya luka-luka. Kerugian harta benda sangat besar. Konflik yang awalnya hanya terjadi di Kota Ambon , ibu kota provinsi Maluku dengan kepulauan maluku lainnya dan provinsi Maluku Utara. Pengungsi diperkirakan sepuluh ribu. Dampak pengungsian dirasakan hingga Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara bahkan Nusa Tenggara Timur dan Papua.

2.16. Isu-Isu Konflik Keagamaan

Berdasarkan kajian Ihsan Ali-Fauzi dkk, isu-isu keagamaan yang menyebabkan konflik keagamaan dengan Indonesia sebagai contoh kasus, dalam kurun waktu 1990-2008, terdiri dari 6 kategori. Pertama, isu moral, seperti isu-isu perjudian, minuman keras (miras), narkoba, perbuatan asusila, prostitusi, pornografi/pornoaksi.Isu-isu moral lainnya seperti antikorupsi juga dimasukkan ke dalam isu keagamaan selama isu tersebut melibatkan kelompok keagamaan dan/atau dibingkai oleh para aktor yang terlibat dalam slogan atau ekspresi keagamaan.

Kedua, isu sektarian, yaitu isu-isu yang melibatkan perseteruan terkait interpretasi atau pemahaman ajaran dalam suatu komunitas agama maupun status kepemimpinan dalam suatu kelompok keagamaan. Dalam Islam, kelompok Ahmadiyah, Lia-Eden dan Al Qiyadah Al Islamiyah adalah di antara kelompok-kelompok keagamaan yang kerap memicu berbagai insiden protes maupun kekerasan, baik yang dilakukan oleh kelompok keagamaan maupun warga masyarakat secara umum. Sedangkan dalam komunitas Kristen, konflik kepemimpinan gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) menjadi contoh yang mewakili isu sektarian ini.

Ketiga, isu komunal, yaitu isu-isu yang melibatkan perseteruan antarkomunitas agama, seperti konflik Muslim-Kristen, maupun perseteruan antara kelompok agama dengan kelompok masyarakat lainnya yang tidak selalu bisa diidentifikasi berasal dari kelompok agama tertentu.Isu seperti penodaan agama, seperti dalam kasus karikatur tentang Nabi Muhammad, dimasukkan dalam kategori isu komunal ini. Perlu ditegaskan: Perseteruan atau bentrok menyangkut suatu isu keagamaan - sepanjang kedua belah pihak yang terlibat tidak dapat diidentifikasi berasal atau mewakili komunitas keagamaan yang sama juga dimasukkan dalam isu ini. Jika kedua belah pihak pelaku dapat diidentifikasi berasal dari komunitas agama yang sama, maka konflik semacam itu akan dimasukkan dalam kategori isu sektarian.

Keempat, isu terorisme, yaitu isu yang terkait dengan aksi-aksi serangan teror dengan sasaran kelompok keagamaan atau hak milik kelompok keagamaan tertentu, maupun serangan teror yang ditujukan terhadap warga asing maupun hak milik pemerintah asing. Tindakan kekerasan ini kerap disebut juga sebagai tindak terorisme keagamaan (religious terrorism), yang oleh Juergensmeyer dipandang sebagai “tindakan simbolik” atauperformance violence, ketimbang suatu tindakan taktis atau strategis. Untuk kasus Indonesia, contohnya adalah pengeboman di Bali yang dilakukan oleh kelompok Imam Samudra, dan berbagai serangan bom di Jakarta. Adapun kekerasan berupa serangan teror di wilayah konflik komunal, maupun insiden yang terkait dengan upaya penyelesaian konflik di wilayah komunal tertentu seperti Poso, Sulawesi Tengah, dan Ambon, Maluku, dimasukkan dalam kategori ketiga di atas, yaitu isu komunal.
Kelima, isu politik-keagamaan, yaitu isu-isu yang melibatkan sikap anti terhadap kebijakan pemerintah Barat atau pemerintah asing lainnya dan sikap kontra ideologi/kebudayaan Barat atau asing lainnya.Termasuk ke dalam isu politik-keagamaan di sini adalah isu penerapan Syariah Islam atau Islamisme, serta pro-kontra menyangkut kebijakan pemerintah Indonesia yang berdampak pada komunitas keagamaan tertentu. Terakhir, keenam, isu lainnya, meliputi isu subkultur keagamaan mistis seperti santet, tenung dan sebagainya, maupun isu-isu lainnya yang tidak termasuk dalam 5 (lima) kategori sebelumnya.(Disadur dari Ilham Ali Fauzi dkk, “Pola-Pola Konflik Keagamaan di Indonesia (1990-2008). (http://www.google.co.id/search?client=firefox-a&rls=org.mozilla%3AenUS%3Aofficial&channel=s&hl=id&source=hp&q=jenis+konflik+agama&meta=&btnG=Penelusuran+Google)

2.17. Penyelesaian konflik

Gambaran mengenai kemampuan bangsa Indonesia menjalin kebersamaan dalam perbedaan, bisa dilihat pada hasil kajian di atas. Rupanya perbedaan, atau katakanlah konflik masih lebih banyak diekspresikan dalam bentuk damai dari pada kekerasan.Fakta tersebut bisa jadi hasil dari serangkaian upaya kreatif dan terus menerus dari masyarakat, terutama kalangan intelektual untuk mengurangi potensi konflik. Meskipun demikian, tidak berarti konflik menjadi hilang sama sekali. Potensi konflik masih tetap ada selama keadilan pada hampir semua aspek kehidupan belum dirasakan secara nyata oleh masyarakat.

Dalam kaitan dengan konflik, apalagi kalau dikaitkan dengan agama, kemampuan bangsa Indonesia mengapresiasi konflik secara lebih positif, seperti terlihat dari data di atas, cukup menggembirakan. Kemampuan adaptif tersebut bagi Azyumardi Azra, dalam (Idris Taha, ed. 1999:30), bisa jadi karena disemangati oleh nilai-nilai toleran yang diajarkan Pada sisi tertentu Iptek gagal memberi makna kehidupan.Agama masih dipandang bisa menghadirkan makna kehidupan. Modernisme gagal menyingkirkan agama dari kehidupan masyarakat. Melihat gejala demikian, tidak salah menjadikan sufisme sebagai salah satu bagian dari upaya menekan konflik. Nilai-nilai kebersamaan, cinta sebagai ciptaan dalam sufisme bisa jadi landasan interaksi sosial.

Dalam rangka resolusi konflik, banyak hal yang perlu dilihat. Dalam waktu singkat, konflik yang ada kalau bersifat frontal, harus diredakan terlebih dahulu. Bisa dengan pendekatan hukum yang tegas. Dalam jangka panjang, dicarikan solusi dengan misalnya mencari akar masalah, mengkampanyekan pendidikan yang berdimensi pluralistik, dakwah yang penuh hikmah dengan muatan yang tidak memicu konflik. Yang tidak kalah pentingnya ialah mewujudkan keadilan dalam semua ranah keidupan masyarakat, baik ekonomi, politik, sosial, budaya maupun agama.


BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Defenisi inklusif merumuskan agama dalam arti seluas mungkin, yang memandangnya sebagai setiap sistem kepercayaan dan ritual yang diresapi dengan “kesucian” atau yang diorientasikan kepada “penderitaan manusia yang abadi”.
Defenisi eksklusif membatasi istilah agama itu pada sistem-sistem kepercayaan yang mempostulatkan eksistensi makhluk, kekuasaan, atau kekuatan supernatural.
Integrasi  adalah proses penyesuaian unsure-unsur yang berbeda dalam masyarakat sehingga menjadi satu kesatuan. Unsur-unsur yang berbeda tersebut meliputi perbedaan kedudukan, sosial, ras , etnik, agama, bahasa, kebiasaan, system nilai dan norma.

Konflik  bisa diartikan pertikaian atau  perselisihan yang bisa terjadi antar individu, kelompok, maupun negara yang bisa mengambil bentuk fisik atau gagasan/non-fisik. Sementara konflik keagamaan merupakan perseteruan mengenai nilai, klaim, identitas yang melibatkan isu-isu kegamaan. Selain itu juga bisa berwujud aksi damai maupun kekerasan.

Konflik bisa disebabkan beberapa faktor seperti: perbedaan pendirian dan perasaan individu; perbedaan latar belakang kebudayaan; perbedaan kepentingan; perubahan nilai yang cepat. Konflik keagamaan terjadi karena: klaim kebenaran yang rigid/kaku; wilayah agama dan suku/adat memudar; dokrin jihad dipahami secara sempit; kurangnya sikap toleran dan minimnya pemahaman ideologi pluralism.

Isu-isu konflik keagamaan di Indonesia seperti isu moral, isu sektarian, isu komunal, terorisme, isu politik-keagamaan, dll, bisa diminimalisir dengan adanya pendekatan hukum yang tegas dan adil, pendidikan dan dakwah yang berdimensi pluralistik dan penuh kebijaksanaan, serta mengupayakan terciptanya keadilan dalam semua ranah kehidupan masyarakat, baik itu ekonomi, sosial, politik, budaya maupun agama.

3.2. Saran

          Dalam makalah kami ini telah disediakan teori mengenai agama yang pemahamannya sesuai dengan Sosiologi. Memberikan bahasan tentang konflik yang pernah terjadi di dalam masyarakat Indonesia. Dari konflik tersebut juga diberikan pemahaman dari sudut ilmu pengetahuan. Integrasi yang juga bagian dari pembahasan kami, disuguhkan sesuai dengan  tinjauan Sosiologi. Dengan demikian, atas makalah yang telah disusun ini, bisa bermanfaat.

Saran yang bisa kami sampaikan kepada seluruh pembaca, bahwasanya dengan mengetahui dan memahami apa esensi dari agama, konflik haruslah diutamakan dalam bentuk integrasi.  
Mahasiswa selayaknya memberikan begitu banyak peran yang bisa ditunjukkan bagi masyarakat di dalam realita sosial. Sehingga, mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat bisa menunjukkan tindakan yang berwawasan dengan tindakan yang sesungguhnya.



PUSTAKA ACUAN

Thomas F. O’ Dea. 1995. Sosiologi Agama: Suatu Pengenal Awal. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada.
Hendropuspito, 1983. Sosiologi Agama. Jakarta. Penerbit KANISIUS (Anggota IKAPI)
Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama.Cet. IV; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.
Sujatmiko, Iwan Gardono. Integrasi dan Disintegrasi Bangsa-bangsa di Dunia. Dalam Multikulturaslisme, Peran Perempuan dan Integrasi Nasional. Jakarta. Penerbit Universitas Atma Jaya, 2008.
Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosioogi. Lembaga Penerbit Fakultas UI, 2004.
Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Tunner. Kamus Sosiologi. Cetakan Pertama. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Ihromi. Bunga Rampai: Sosiologi Keluarga. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia..
Elly M. Setiadi & Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fatkta dan Gejala Permasalahan Sosial; Teori, Aplikasi dan Pemecahannya.  Cetakan Kedua. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Ritzer, George.Modern Sociological Theory 4th ed. Singapore: The McGraw-Hill Companies Inc, 1988.
Stewart, Edward C. American Cultural Patterns: A Cross-Cultural Perspective Cet. XIII; America: Intercultural Press, 1985.

 Sumber Lain
Fauzi, Ihsan Ali dkk. “Pola-Pola Konflik Keagamaan di Indonesia (1990-2008), http://www. konflik+agama diakses tgl., 15 Mei 2015.
http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik, 14 Mei 2015, 19:02.

Tags :

bonarsitumorang

Posting Komentar