Makalah: Sosiologi Lingkungan Sebagai Paradigma Baru
I. PENDAHULUAN
Berbagai bencana alam akhir akhir ini sering terjadi baik di berbagai belahan
dunia tanpa terkecuali di negara kita Indonesia. Kita dapat mengetahui beragam
bencana yang terjadi ini baik dari berbagai media elektronik maupun media masa
setiap harinya. Bencana itu mulai dari banjir, tanah longsor, degradasi tanah,
dan lain sebagainya. Dan kesemua bencana ini menjadi persoalan bagi kehidupan
manusia karna memberikan dampak yang sangat merugikan. Tidak terkecuali bagi
negara indonesia yang memiliki beragam sumberdaya alam, seperti hutan dan
sungai. Kelimapahan dan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia ini seharusnya
Indonesia menikmati beragam keuntungan dan jauh dari bencana alam.
Bencana alam seperti banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di Wasior,
Aceh, Medan dan Jawa seharusnya tidak terjadi karena Indonesia memiliki
sumberdaya hutan yang luas membentang di sepanjang kawasan Nusantara ini. Namun
yang terjadi adalah sebaliknya, untuk keperluan beragam kepentingan hutan
ditebang dan kawasannya digunduli serta lingkungan menjadi rusak sehingga
mengemukalah banjir dan tanah longsor ( Pahrudin HM, M.A. ).
Sosiologi lingkungan yang merupakan suatu kajian ilmu pengetahuan hubungan
manusia dengan lingkungan , dituntut untuk bisa dan mampu menganalisis dan
memahami permasalahan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya dengan aspek
lingkungannya. Perhatian para ilmuan sosial terhadap permasalahan lingkungan dari
aspek sosiologi ini dapat dikatakan terlambat dibandingkan dengan lainnya.
Karena beberapa pakar menilai bahwa keterlambatan ini disebabkan oleh
kungkungan dan kekangan defenisi sosiologi yang dikemukakan oleh para ahli dan
dijadikan acuan oleh banyak kalangan dalam melakukan kajian.
Beragam defenisi sosiologi yang dikemukakan oleh beragam ahli selama ini
memperlihatkan bahwa ilmu ini ‘hanya’ mengkaji hubungan antar manusia tanpa
memasukkan unsur lingkungan. Kenyataan ini dapat dimengerti karena sosiologi
hadir dan dirumuskan di saat perspektif antroposentrisme (manusia sebagai pusat
atau penentu alam) masih sangat dominan.( Pahrudin HM, M.A. ).
Perkembangan pandangan sosiologi dari antroposentrisme menjadi ekosentrisme
(lingkungan atau alam sebagai pusat kajian) baru mengemuka pada tahun 1978 yang
dilakukan oleh Riley Dunlap dan William Catton dalam jurnalnya yang berjudul “
Environmental Sosiology : A New Paradigm” dalam buku “The American Sosiologist,
1978, Vol 13 (February) 41-49”.
Dimana praktek sosiologi untuk masa yang akan datang harus melihat
hubungan antara manusia/masyarakat dan lingkungan biofisik, di jurnal ini
dibahas anjuran untuk suatu paradigma baru bagi hubungan antara
manusia/masyarakat dengan lingkungannya sehingga disiplin ilmu ini tidak lagi
mengabaikan hubungan masyarakat dengan lingkungan biofisiknya.
II. SOSIOLOGI LINGKUNGAN
Sosiologi lingkungan (environment sociology) didefenisikan sebagai cabang
sosiologi yang memusatkan kajiannya pada adanya keterkaitan antara lingkungan
dan perilaku sosial manusia. Menurut Dunlop dan Catton, sebagaimana dikutip
Rachmad, sosiologi lingkungan dibangun dari beberapa konsep yang saling
berkaitan, yaitu:
1. Persoalan-persoalan lingkungan dan ketidakmampuan sosiologi konvensional
untuk membicarakan persoalan-persoalan tersebut merupakan cabang dari pandangan
dunia yang gagal menjawab dasar-dasar biofisik struktur sosial dan kehidupan
sosial.
2. Masyarakat modern tidak berkelanjutan (unsustainable) karena mereka hidup
pada sumberdaya yang sangat terbatas dan penggunaan di atas pelayanan ekosistem
jauh lebih cepat jika dibandingkan kemampuan ekosistem memperbaharui dirinya.
Dan dalam tataran global, proses ini diperparah lagi dengan pertumbuhan
populasi yang pesat.
3. Masyarakat menuju tingkatan lebih besar atau lebih kurang berhadapan dengan
kondisi yang rentan ekologis.
4. Ilmu lingkungan modern telah mendokumentasikan kepelikan persoalan
lingkungan tersebut dan menimbulkan kebutuhan akan penyelesaian besar-besaran
jika krisis lingkungan ingin dihindari.
5. Pengenalan dimensi-dimensi krisis lingkungan yang menyumbang pada
‘pergeseran paradigma’ dalam masyarakat secara umum, seperti yang terjadi dalam
sosiologi berupa penolakan terhadap pandangan dunia Barat yang dominan dan
penerimaan sebuah paradigma ekologi baru.
6. Perbaikan dan reformasi lingkungan akan dilahirkan melalui perluasan
paradigma ekologi baru di antara publik, massa dan akan dipercepat oleh
pergeseran paradigma yang dapat dibandingkan antara ilmuan sosial dan ilmuan
alam.
Lebih lanjut, dalam kajian sosiologi lingkungan, beragam perilaku sosial
seperti konflik dan integrasi yang berkaitan dengan perubahan kondisi
lingkungan, adaptasi terhadap perubahan lingkungan atau adanya pergeseran
nilai-nilai sosial yang merupakan efek dari perubahan lingkungan harus dapat
dikontrol. Hal ini dilakukan agar kemunculan pengaruh-pengaruh berupa
faktor-faktor yang tidak berkaitan dengan kondisi lingkungan (eksogen) dapat
terdeteksi atau dikenali dengan jelas. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
sosiologi lingkungan adalah cabang sosiologi yang mengkaji aspek-aspek
lingkungan, seperti pemanfaatan sumberdaya alam serta pencemaran dan kerusakan
lingkungan yang dilakukan oleh manusia dengan beragam alasan sebagai dampak
ikutannya.
III. INTERAKSI ANTARA MASYARAKAT DAN LINGKUNGAN
Sosiologi lingkungan didefinisikan sebagai studi tentang hubungan antara
masyarakat manusia dan lingkungan fisik mereka atau, lebih
sederhana,''sosial-lingkungan interaksi'' (Dunlap dan Catton 1979).
Interaksi tersebut termasuk cara-cara di mana manusia mempengaruhi
lingkungannya serta cara-cara di mana kondisi lingkungan (sering dimodifikasi
oleh tindakan manusia) mempengaruhi urusan manusia, ditambah dengan cara di
mana interaksi sosial tersebut ditafsirkan dan ditindaklanjuti.
Relevansi dari interaksi ini untuk sosiologi berasal dari fakta bahwa populasi
manusia tergantung pada lingkungan biofisik untuk kelangsungan hidup, dan ini
pada gilirannya memerlukan melihat lebih dekat pada fungsi-fungsi yang melayani
lingkungan bagi manusia.
Tiga fungsi dasar lingkungan hidup bagi kehidupan manusia , yaitu :
1. Lingkungan menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk hidup, mulai dari
udara dan air untuk makanan untuk bahan yang dibutuhkan untuk tempat tinggal,
transportasi, dan berbagai macam barang ekonomis.
2. Lingkungan berfungsi sebagai penyerap limbah. Untuk repositori limbah ini,
baik menyerap atau daur ulang, lingkungan berfungsi menyerap zat
berbahaya zat (seperti ketika pohon menyerap karbon dioksida kemudian
oksigen kembali ke udara).
3. Manusia, seperti spesies lainnya, juga harus memiliki tempat untuk betahan
hidup, dan lingkungan menyediakan rumah-di mana manusia dqapat hidup, bekerja,
bermain, perjalanan, dan menghabiskan hidup kita.
Jadi, ketiga fungsi lingkungan hidup adalah untuk memberikan kehidupan ruang
atau habitat bagi populasi manusia.
Tapi ketika manusia/masyarakat berlebihan dalam memanfaatkan ketiga fungsi
lingkungan maka akan terjadi permasalahan. Masalah lingkungan dalam bentuk
polusi, kelangkaan sumber daya, dan kepadatan penduduk dan / atau kelebihan
penduduk. Dampak dari terganggunya satu fungsi lingkungan berakibat pula pada
fungsi lainnya sehingga permasalahan lingkungan inipun bisa semakin kompleks.
Sebagai contoh suata area/daerah yang fungsi lingkungannya dialihkan untuh TPA
sapah atau limbah berbahaya, membuat fungsi kawasan lingkungan ini tidak layak
huni, karna bahan berbahaya/limbah ini mencemari tanah, air, dan udara. Daerah
ini tidak bisa lagi berfungsi sebagai depot pasokan untuk air minum atau untuk
produk pertanian tumbuh. Akhirnya, konversi lahan pertanian atau hutan menjadi
subdivisi perumahan menciptakan ruang yang lebih hidup untuk manusia, tetapi
itu berarti bahwa tanah tidak lagi dapat berfungsi sebagai depot pasokan untuk
makanan atau kayu (atau sebagai habitat satwa liar).
Masalah lingkungan baru terus muncul sebagai hasil dari kegiatan manusia.
Contoh issue global adalah pemanasan global, hal ini terjadi akibat dari
peningkatan pesat karbon dioksida di atmosfer bumi yang dihasilkan oleh
berbagai kegiatan manusia-terutama pembakaran bahan bakar fosil (batubara, gas,
dan minyak), kayu, dan lahan hutan. Sehingga meningkatkan suhu atmosfer bumi.
perubahan fungsi lingkungan ini yang membuat planet bumi kita kurang
cocok sebagai ruang hidup (tidak hanya bagi manusia, tetapi terutama untuk
bentuk-bentuk lain dari kehidupan).
Penipisan ozon, misalnya, berasal dari kemampuan terbatas melebihi atmosfer
untuk menyerap chlorofluorocarbons (CFC) dan polutan lainnya. Munculnya
masalah seperti penipisan ozon, perubahan iklim, kepunahan spesies, dan
perusakan hutan hujan adalah indikasi bahwa masyarakat modern mengubah
lingkungan mereka dan cara-cara di mana perubahan tersebut akhirnya menciptakan
kondisi bermasalah bagi masyarakat.
IV. HUMAN EXEPTIONALISM PARADIGM (HEP)
Kritikan aliran utama sosiologis :
Kebanyakan semua aliran sosiologis mirip satu sama lain, hanya sedikit memiki
perbedaan, persamaannya lebih mengutamakan antroposentrisme (manusia sebagai
pusat atau penentu alam).
Aliran ini disebut Human Exeptionalism Paradigm atau yang sering disingkat
HEP
Berbagai perspektif teoritis dalam sosiologi kontemporer bersaing misalnya,
fungsionalisme, simbolis dalam interactionism, ethnomenthodology, teori
konflik, marxisme, dan sebagainya. Dan semua teori ini cenderung
membesar-besarkan perbedaan antara satu dengan yang lain, misalnya :
denisoff, et el, 1974 dan Ritzer, 1975. Tapi mereka juga telah ditafsirkan
hanya sebagai bersaing "pra-paradigmatis" perspektif (Friedrichs n
1972). Teori yang paling fundamental dan mendasari dari semuanya
adalah antroposentrisme (manusia sebagai pusat atau penentu alam) yang
merupakan dasar pandangan dunia sosiologis (Klausner : 1971) yang disebut
dengan Human exceptionalism paradigm atau yang sering disingkat
HEP.
Tetapi penerimaan asumsi HEP di dalam pandangan dunia ilmu sosiologi
telah membuat sebagian besar sosiolog mengalami kesulitan untuk
penanganan yang bermakna dengan implikasi sosial dari kendala dan masalah
ekologi. Jadi, HEP menghalangi upaya sosiologis untuk memahami pengalaman
sosial masa depan.
Ada beberapa asumsi Human Exceptionalism Paradigm (HEP) diantaranya :
1. Manusia adalah unik di antara makhluk bumi, karena mereka memiliki budaya.
2. Budaya dapat bervariasi hampir tak terbatas dan perubahan jauh lebih cepat
dari pada ciri-ciri biologis.
3. Jadi. Banyak perbedaan-perbedaan manusia secara sosial yang disebabkan bukan
bawaan, mereka dapat diubah dan sosial dalam perbedaan nyaman dapat
dihilangkan.
4. Demikian juga akumulasi budaya berarti kemajuan yang dapat melanjutkan tanpa
batas, membuat semua masalah sosial pada akhirnya larut.
Bagaimana HEP membentuk pemikiran sosiologi :
a. Masyarakat kita diturunkan kualitas yang istimewa dari kekayaan alam dimasa
lalu, dimana faktor kelimpahan, yang pertama kali ditemukan sebagai kondisi
lingkungan dan yang kita kemudian dikonversi oleh perubahan teknologi ke dalam
budaya serta kekuatan fisik, namun sosiologi telah mengabaikan pentingnya
lingkungan dalam membentuk siapa kita hari ini.
Ex : Penerimaan sosiologis seperti pandangan optimis tidak diragukan lagi
dipupuk oleh prevalensi doktrin kemajuan dalam budaya barat, di mana sosiologi
akademik diawali dan dipelihara. Di bawah cabang amerika budaya barat bahwa
sosiologi berkembang paling lengkap, dan telah jelas bagi analisis kehidupan
asing amerika, dari Tocqueville untuk Laski, bahwa kebanyakan orang Amerika
(sampai saat ini) asyiknya percaya bahwa sekarang lebih baik daripada masa lalu
dan masa depan akan memperbaiki sekarang. Sociologists dengan mudah bisa berbagi
keyakinan bahwa ketika sumber daya alam masih sangat banyak yang membatasi
untuk kemajuan tetap terlihat
b. Ilmuan sosial mengabaikan konsep daya dukung, namun dengan mengabaikan
konsep ini telah sama saja dengan asumsi bahwa daya dukung
lingkungan selalu enlargeable dengan yg kita butuhkan, Dengan demikian
sosiologist telah menolak kemungkinan kelangkaan. Mengabaikan ketergantungan
ekosistem masyarakat manusia telah terbukti dalam literatur sosiologis tentang
pembangunan ekonomi (misalnya Horowitz, 1972), yang hanya tidak diakui batas
biogeokimia untuk kemajuan materi.
Sehingga kata "lingkungan" mengacu hampir seluruhnya dengan
"lingkungan simbolik" suatu masyarakat (sistem budaya) atau
"lingkungan sosial" (environing sistem sosial)
Meskipun tidak menyangkal bahwa manusia adalah spesies yang luar biasa, para
ilmuan sosiologi lingkungan berpendapat bahwa keterampilan khusus dan kemampuan
tetap gagal untuk membebaskan masyarakat dari batasan-batasan lingkungan alam.
Akibatnya, para ilmuan ini berpendapat bahwa HEP diganti dengan perspektif yang
lebih ramah lingkungan, sebuah New Environmental Paradigm (NEP).
V. NEW ENVIRONMENTAL PARADIGM (NEP)
Akhir 1970-an adalah era pertumbuhan yang dinamis dari lingkungan sosiologi
Amerika. Masalah lingkungan mewakili apa yang disebut masalah
sosiologi lingkungan. (Dunlap dan Catton 1979). Sebagai ilmuan sosial yang
lebih memerhatikan masalah lingkungan, beberapa mulai untuk melihat melampaui
perhatian masyarakat terhadap masalah lingkungan ke hubungan yang mendasari
antara modern, masyarakat industri dan lingkungan fisik yang mereka tempati.
Kepedulian dengan penyebab pencemaran lingkungan adalah dilengkapi dengan fokus
pada dampak sosial dari polusi dan keterbatasan sumber daya.
Berbeda dengan Human Exemptionalist Paradigm (HEP) , Catton dan memajukan
Dunlap "New Environmantal Paradigm (NEP) " yang mereka melihat
sebagai lensa mental yang bersaing dan dasar untuk pembenahan teori sosial.
Asumsi utama dari NEP adalah sebagai berikut :
1. Meskipun manusia memiliki karakteristik yang luar biasa (budaya, teknologi,
dll), mereka hanya satu di antara banyak spesies yang saling bergantung yang
terlibat dalam ekosistem global.
2. Urusan manusia dipengaruhi tidak hanya oleh faktor sosial dan budaya, tetapi
juga oleh hubungan yang rumit sebab, efek, dan umpan balik dalam wadah alam,
dengan demikian tindakan manusia purposive memiliki konsekuensi yang tidak
diinginkan banyak.
3. Manusia hidup dan tergantung pada lingkungan biofisik terbatas yang
memberlakukan pengekangan fisik dan biologis kuat terhadap urusan manusia.
4. Namun banyak cipta manusia atau kekuatan berasal daripadanya mungkin tampak
untuk sementara melampaui daya-dukung, hukum ekologi tidak dapat dicabut.
New Environmantal Paradigm (NEP) alternatif ekologis dari Human
Exemptionalist Paradigm.
Bagaimana NEP membentuk pemikiran tentang stratifikasi :
a. Penurunan standar hidup dipahami dalam konteks sosial-lingkungan dialektika.
b. Pertumbuhan ekonomi menyebabkan degradasi ekologis yang merespon hal
terburuk polusi dari pelaku ekonomi dengan cara regresif ( yaitu cara
pembiayaan pada pengelolaan kelangkaan untuk kelas bawah dan menengah
melalui adanya pajak atau hal-hal lain. )
c. Saat “pie” ekonomi telah tetap, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan hanya
dapat diatasi melalui redistribusi kekayaan. Kecuali ilmuan sosial mengakui
kalau “pie” tidak dapat tumbuh melampaui ukuran tertentu (yakni kesemuanya akan
membatasi pertumbuhan). Teori stratifikasi sosial yang bertujuan untuk
memahami konflik masa depan antara lapisan masyarakat akan salahnya informasi.
d. Pengentasan kemiskinan merupakan upaya yang memperhitungkan hubungan antara
paparan lingkungan yang berbahaya dan kemiskinan yang yang ditakdirkan untuk
gagal.
PERBEDAAN ASUMSI HUMAN EXEPTIONALISM PARADIGM (HEP) DAN NEW
ENVIRONMENTAL PARADIGM (NEP)
NO
|
PERBEDAAN
|
HEP
|
NEP
|
1
2
3
4
|
Asumsi tentang sifat manusia
Asumsi tentang penyebab sosial
Asumsi tentang konteks masyarakat sosial
Asumsi tentang kendalan masyarakat sosial
|
manusia memiliki warisan budaya di
samping warisan genetik dengan demikan manusia berbeda
dengan makhluk lainnya.
Faktor sosial dan budaya termasuk teknologi adalah penentu
utama urusan manusia
Lingkungan sosial dan budaya merupakan konteks yang
penting untuk urusan manusia dan lingkungan biofisik sebagian tidak relevan
Budaya itu kumulatif sehingga perkembangan teknologi dan
budaya dapat dilanjutkan tanpa batas dan membuat semua masalah dapat di
selesaikan
|
Meskipun karakteristik manusia itu luar biasa, manusia
tetap satu diantara banyak makluk lainnya yang saling bergantung dalam
ekosistem dunia
Urusan manusia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor sosial
dan budaya, tapi juga oleh hubungan yang komplek antara penyebab, dampak dan
umpan balik alam
Manusia hidup didalam dan tergantung pada lingkungan
biofisik yang terbatas sehingga membebankan dan membatasi urusan manusia
Meskipun manusia cipta mungkin
tampaknya sementara memperpanjang daya dukung batas, ekologi hukum tidak dapat dicabut. |
VI. KESIMPULAN.
Dikarenakan begitu banyaknya bencana alam yang ditimbukan sebagaimana ulah dari
kegiatan manusia untuk itu diperlukan/diharuskannya perubahan pardigama baru
bagi masyarakat pada umumnya dan ilmuan sosial khususnya . Untuk keberlagsungan
kehidupan manusia/masyarakat dimasa yang akan datang, yaitu Human
Expetionalism Paradigm (HEP) yaitu paradigma yang beraliran antroposentism (
manusia sebagai pusat atau penentu alam ) ke paradigma baru yang lebih mengacu
pada lingkungan yaitu New Environmental Paradigm (NEP) tentang hubungan antara
manusia dengan lingkungan ekologisnya, dengan demikian diharapakan adanya
kestabilan di fungsi lingkungan bagi kehidupan manusia.
VII. REFERENSI
Catoon, W and R Dunlap,
1978a, “ Environmental Sosiology : A New Paradigm” . The American Sosiologist
13 : 41-49
Washington State University
Craig R. Humphrey
2002 . “Environment, Energy, and Society: A New Synthesis, 1st Edition “
Dunlap R, and E Rosa
“environmental Sociology” ENCYCLOPEDIA OF SOCIOLOGY
Gary Bowden
“From Environmental to Ecological Sociology”. University of New
Brunswick-Frederiction
Tags : Jurnal Sosiologi