MAKALAH: PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE UNTUK KELESTARIAN LINGKUNGAN DI DESA JARING HALUS KABUPATEN LANGKAT
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1.Latarbelakang
Masalah
Meningkatnya
kebutuhan dan aktivitas manusia yang
sangat kompleks menyebabkan adanya eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam
untuk kegiatan pembangunan. Pelaksanaan pembangunan dalam berbagai aspek
kehidupan telah mampu menaikkan taraf hidup
masyarakat. Akan tetapi, kegiatan pembangunan tersebut bisa membawa dampak yang
merugikan bagi kelestarian lingkungan sehingga menyebabkan terjadinya degradasi
lingkungan.
Dalam
dekade terakhir ini, kegiatan pembangunan di wilayah pesisir cukup pesat, baik
untuk perikanan, pemukiman, pertambangan, pariwisata dan sebagainya. Pesatnya
pembangunan serta ditambah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, telah
menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan di beberapa wilayah pesisir
Indonesia. Permasalahan tersebut di antaranya adalah terjadinya degradasi
ekosistem alami. Salah satu ekosistem pesisir yang mengalami tingkat degradasi
cukup tinggi akibat pola pemanfaatannya yang cenderung tidak memperhatikan
aspek kelestariannya adalah hutan mangrove.
Irwanto (2007) menjelaskan bahwa hutan
mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut,
terutama di pantai dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang dan bebas
dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap
garam. Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri
tumbuhan yang hidup di darat dan di laut.
Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya
pesisir yang berperan penting dalam pembangunan. Perubahan-perubahan yang
dilakukan terhadap daerah pesisir telah mengorbankan ribuan hektar kawasan
mangrove sehingga banyak areal mangrove yang tidak berfungsi lagi sebagaimana
mestinya. Menurut data dari Kementerian Kehutanan Republik
Indonesia, pada tahun 2012 sekitar 1,8 juta hektare (58 persen) dari 3,1 juta
hektare hutan mangrove di Indonesia telah mengalami kerusakan (sumber : Koran Tempo).
Tuntutan
pembangunan ekonomi yang mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik seperti
pengembangan pemukiman, pembangunan tambak dan lain-lain menyebabkan terjadinya
pengalihfungsian hutan mangrove yang tidak sesuai dan melampaui daya dukung
yang berujung pada kerusakan ekosistem hutan mangrove dan degradasi lingkungan.
Menyadari akan pentingnya kebutuhan hidup dan
tingginya ketergantungan terhadap sumberdaya alam seperti mangrove, diperlukan
suatu jalan keluar guna memadukan aspek ekologis, ekonomis dan sosial budaya supaya
dapat berkesinambungan sehingga mendukung program pembangunan berkelanjutan. Aspek
ekologis dari pemanfataan lahan mangrove harus tetap mempertahankan fungsi
lahan mangrove sebagai suatu ekosistem pesisir. Aspek sosial budaya dan
ekonomi, harus memperhatikan kesinambungan dalam memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat terutama bagi mereka yang menggantungkan hidupnya terhadap ekosistem
pantai seperti mangrove.
Melihat
gejala perusakan hutan mangrove untuk berbagai kepentingan tersebut maka perlu
dilakukan pengelolaan hutan mangrove secara lestari. Untuk dapat melakukan
pengelolaan hutan mangrove secara lestari diperlukan pengetahuan tentang nilai
strategis dari keberadaan hutan mangrove yang bermanfaat bagi masyarakat.
Pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat merupakan salah satu strategi
pengelolaan yang dapat meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam pemanfaatan
dan pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu strategi ini dapat membawa efek
positif secara ekologi dan sosial ekonomi.
Masyarakat Desa Jaring Halus menyadari
bahwa pemanfaatan hasil alam harus diimbangi dengan upaya pelestarian sehingga
tidak menimbulkan masalah yang akhirnya merugikan kehidupan. Prinsip ini
merupakan kearifan lokal yang dihormati dan dipraktekkan oleh masyarakat Desa
Jaring Halus. Salah satu cara yang dilakukan masyarakat untuk mengelola
lingkungan hidup adalah dengan membuat kawasan konservasi hutan mangrove.
Untuk mencegah kerusakan yang lebih parah
terhadap sumberdaya alam khususnya mangrove, upaya menumbuhkembangkan peran serta
masyarakat dalam pengelolaan dan pengawasan terhadap keberadaan hutan mangrove
harus selalu dilakukan. Beradasarkan latarbelakang masalah tersebut di atas,
maka kami tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengelolaan hutan
mangrove berbasis kearifan lokal (local
wisdom) untuk pembangunan berkelanjutan.
1.2.Perumusan
Masalah
Berdasarkan
latarbelakang masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian adalah bagaimana
pengelolaan hutan mangrove berbasis kearifan lokal di Desa Jaring Halus
Kabupaten Langkat ?
1.3.
Tujuan Penelitian
Adapun
tujuan dilalukannya penelitian ini ialah untuk mengetahui pengelolaan hutan
mangrove di Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat.
1.4.Manfaat
Penelitian
a.
Manfaat teoritis yakni terkait dengan
pengembangan ilmu pengetahuan sehingga dapat menambah wawasan mengenai
pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan hidup berbasis kearifan lokal (local wisdom).
b.
Manfaat praktis yaitu dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam pengambilan kebijakan terkait dengan
perencanaan dan pengembangan wilayah serta pengelolaan lingkungan yang
berkelanjutan. Sedangkan bagi masyarakat luas diharapkan dapat memberikan
inspirasi terkait pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dengan memanfaatkan
kearifan lokal yang dimiliki masyarakat.
BAB II
METODE PENELITIAN
METODE PENELITIAN
2.1.Jenis Penelitian
Jenis
penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk
menggambarkan atau mendeskripsikan bagaimana pengelolaan hutan mangrove di Desa
Jaring Halus Kabupaten Langkat.
Penentuan
informan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik purposif atau
bertujuan, di mana penentuan informan dilakukan dengan sengaja dan direncanakan
sejak awal penelitian dengan catatan bahwa informan tersebut representatif atau
dianggap mewakili populasi dan dapat memberikan informasi yang akurat terkait
dengan permasalahan penelitian.
2.2.Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara
adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya
jawab, sambil bertatap muka antara peneliti dengan informan. Wawancara
merupakan metode yang paling utama dalam proses pengumpulan data dalam
penelitian ini. Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara terstruktur di mana draft pertanyaan telah peneliti siapkan
untuk mempermudah peneliti ketika sedang mewawancarai informan. Wawancara
dilakukan pada informan yang dianggap mempunyai kapasitas dalam memberikan
informasi yang dibutuhkan. Adapun yang menjadi informan kunci ialah Kepala Desa
Jaring Halus, ketua adat (pawang desa),
kepala dusun, serta informan tambahan yakni masyarakat yang dijumpai di lokasi
penelitian.
b.
Observasi
Observasi
merupakan aktivitas penelitian dalam rangka mengumpulkan data yang berkaitan
dengan masalah penelitian melalui proses pengamatan langsung dilapangan. Teknik
observasi digunakan untuk
mendapatkan data yang lebih akurat dengan mengamati kegiatan masyarakat yang
sedang melakukan pemeliharaan bibit mangrove di kawasan konservasi mangrove.
c.
Dokumentasi
Dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan
menghimpun dan menganalisis dokomen-dokumen baik dokumen tertulis, gambar
maupun elektronik. Metode dokumentasi digunakan untuk mendukung
hasil wawancara dan observasi yang dilakukan. Data yang dikumpulkan dengan
teknik dokumentasi ialah berupa foto terkait dengan kondisi lokasi penelitian
dan aktivitas masyarakat di lokasi penelitian.
2.3.Teknik
Analisis Data
Teknis
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data
kualitatif dengan beberapa tahapan seperti tergambar pada skema berikut :
Pengumpulan
Data
|
Reduksi
Data
|
Penyajian
Data
|
Penarikan
Kesimpulan dan Verifikasi
|
(Sumber : Nasution, 1996)
Langkah-langkah analisis data dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Pengumpulan data
Data-data yang diperoleh di lapangan dicatat atau direkam dalam
bentuk naratif, yaitu uraian data yang diperoleh dari lapangan apa adanya tanpa
adanya komentar peneliti yang berbentuk catatan kecil. Dari catatan deskriptif
ini, kemudian dibuat catatan refleksi yaitu catatan yang berisi komentar,
pendapat atau penafsiran peneliti atas fenomena yang ditemui dilapangan.
b.
Reduksi data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, penyederhanaan,
pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan lapangan.
Reduksi data dilakukan terus menerus selama penelitian dilaksanakan. Reduksi
data merupakan wujud analisis yang menajamkan, mengklarifikasikan, mengarahkan,
membuang data yang tidak berkaitan dengan pokok persoalan. Selanjutnya dibuat
ringkasan, pengkodean, membuat catatan kecil yang dirasakan penting pada
kejadian seketika yang dipandang penting berkaitan dengan pokok persoalan.
c.
Penyajian data
Pada tahapan ini disajikan data hasil temuan di lapangan dalam
bentuk teks deskriptif naratif.
d.
Penarikan
kesimpulan dan verifikasi
Penarikan kesimpulan dan verifikasi merupakan upaya
memaknai data yang disajikan dengan mencermati pola-pola keteraturan,
penjelasan, konfigurasi, dan hubungan sebab akibat. Dalam melakukan penarikan
kesimpulan dan verifikasi selalu dilakukan peninjauan terhadap penyajian data
dan catatan di lapangan melalui diskusi tim peneliti.
BAB III
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
3.1. Gambaran Desa Jaring Halus
Desa
Jaring Halus merupakan sebuah desa yang terletak di pinggir lautan lepas
(dikelilingi oleh lautan). Desa ini merupakan desa pesisir yang berbatasan
dengan Selat Malaka di sebelah Utara dan Timur, sebelah Selatan dengan Desa Selotong,
dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Tapal Kuda. Desa ini mempunyai luas
2.554 ha. Jumlah penduduk Desa Jaring Halus sebanyak 4.788 orang (1.288 KK)
yang terdiri dari 2.288 laki-laki dan 2.500 perempuan (Sumber : Kantor Kepala Desa Jaring Halus).
Desa
ini merupakan desa pesisir yang penduduknya mayoritas etnis Melayu yang konon katanya
berasal dari negeri Malaysia yang disebabkan oleh suatu hal mereka bermigrasi
ke desa ini. Selain etnis Melayu, terdapat juga etnis lain seperti Banjar, Mandailing, dan
Jawa (Sumber : Kantor Kepala Desa
Jaring Halus).
Sekitar
90% masyarakat Desa Jaring Halus mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan dan
sisanya adalah pengusaha ikan, pedagang, dan pegawai negeri sipil. Pada umumnya mereka masih dikenal sebagai nelayan dengan
alat tangkap tradisional seperti jaring selapis, ambai, cicang rebung dan
lain-lain. Jenis alat yang digunakan adalah pukat, jaring, ambai,
keramba, dan sebagainya dan jenis hasil tangkapan yang dihasilkan diantaranya
adalah ikan gembung, koli, kerapuh, jenahar, udang, kerang, kepiting, dan
sebagainya. Hampir semua kebutuhan masyarakat di desa ini diperoleh dengan cara
membeli untuk kebutuhan dasar seperti air dan beras.
Sebagai desa yang terletak di tengah-tengah perairan, lokasi ini
terkesan terisolir karena akses menuju lokasi tersebut sangat sulit. Hal ini
menyebabkan mobilitas masyarakatnya tergolong rendah. Masyarakat
Desa Jaring Halus juga mempunyai tingkat pendidikan dan perekonomian yang
rendah karena sulitnya akses untuk mendapatkan layanan pendidikan. Di desa ini
hanya terdapat sekolah setingkat SD dan SMP sehingga untuk melanjutkan sekolah
ketingkat SMA maupun perguruan tinggi harus ke luar daerah seperti Langkat dan
Secanggang.
3.2.Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Kearifan Lokal
Desa Jaring halus mempunyai potensi alam
yang sangat besar. Desa ini memiliki hutan mangrove sekitar 40 hektare yang
menyimpan banyak spesies mangrove diantaranya, Api-api (Aviceana marina), Dadap (Sonneratia
casedoris), Lenggadai (Brugueira
Parviflora), Bakau (Rhizophora
Apiculata), Nipah (Nypa Fructicans),
Nyirih (Xylocarpus Granatum) dan
Buta-buta (Exoecaria Agallocha). Di
dalam hutan mangrove juga masih banyak ditemukan satwa lokal seperti berbagai
jenis yakni burung bangau tuntong, raja udang sungai, kuntul kerbau maupun
calak merah serta kera berbulu abu-abu yang sering bergerombol di pucuk pohon
bakau. Ada juga beberapa jenis elang yang sering nampak sedang hinggap di dahan
pohon bakau (Nuriza Doral, 2006).
Selain hutan mangrove, Desa Jaring Halus juga dikenal sebagai
penghasil ikan kerapu kelas ekspor. Selain kerapu, desa ini juga menjadi sentra
produksi perikanan tangkap dan budidaya, seperti udang, nila laut, kepiting,
dan lain sebagainya.
Potensi alam yang besar ini didukung oleh
budaya masyarakat Jaring halus yang masih menjaga dan mempertahankan
kelestarian lingkungannya dengan kearifan lokal (local wisdom). Pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap
pentingnya hutan mangrove tersebut disebabkan karena tingkat ketergantungan
masyarakat terhadap hutan mangrove cukup tinggi terkait dengan mata pencaharian
sebagai nelayan (fungsi ekonomi) dan fungsi hutan mangrove untuk melindungi
pemukiman (fungsi fisik dan ekologi).
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat
Desa Jaring Halus biasa memanfaatkan kayu-kayu dari hutan mangrove desa untuk
berbagai keperluan seperti galah ambai, tiang tambatan perahu, kayu
bakar untuk pesta perkawinan dan kematian, serta kayu untuk pembuatan balai dan
pentas jika ada pesta perkawinan. Meski demikian, masyarakat menyadari bahwa
pemanfaatan hutan mangrove desa tersebut harus diimbangi dengan upaya
pelestarian. Terkait dengan hal ini, Desa Jaring Halus sudah mempunyai
peraturan tidak tertulis yang sudah melembaga di masyarakat yang mengatur
pemanfaatan atau pengelolaan hutan mangrove.
Adapun
aturan-aturan dalam pemanfaatan atau pengelolaan hutan mangrove yang ada di
Desa Jaring Halus, diantaranya:
1. Batang
dan ranting kayu yang sudah mati boleh dimanfaatkan untuk kayu bakar atau
keperluan lainnya.
2. Pengambilan
atau penebangan kayu untuk perlengkapan nelayan, pacak tiang rumah, pembuatan
balai, pentas, dan kayu bakar jika ada pesta perkawinan atau kematian harus
mendapat ijin dari pemerintah desa dan pawang desa.
3. Penebangan
atau pengambilan kayu mangrove untuk tujuan komersial atau untuk dijual tidak
diperbolehkan dan akan dikenakan sanksi atau denda mulai peringatan keras
sampai denda yang nilainya mencapai jutaan rupiah jika melakukannya.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa sampai saat ini belum pernah ada masyarakat yang dikenakan denda berupa
uang akibat melanggar peraturan tersebut.
Pengelolaan
hutan mangrove dilakukan secara sukarela dan bersama-sama (gotong royong) oleh
masyarakat Desa Jaring Halus. Terdapat kesadaran dari masyarakat untuk menanam
kembali hutan mangrove desa yang mengalami kerusakan dengan mengambil buah atau
biji mangrove dan menyemaikannya secara swadaya kemudian ditanam lagi di hutan
mangrove desa. Penyemaian bibit, perawatan hingga pengawasan dilakukan secara
swadaya dan secara bergilir. Masyarakat tidak pernah meminta imbalan atas jasa
mereka dalam memelihara hutan mangrove karena keberadaan hutan mangrove
tersebut untuk kepentingan bersama seluruh warga. Upaya pengamanan hutan
mangrove juga tidak dilakukan oleh petugas khusus tapi
dilakukan secara sukarela.
Adanya konformitas yang tinggi terhadap
peraturan tidak tertulis terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan
mangrove serta tingkat gotoroyong yang tinggi dalam masyarakat membuat Kepala
Desa Jaring Halus optimis terhadap kelestarian dan keberlangsungan ekosistem
hutan mangrove. Meski demikian, ancaman terhadap kelestarian hutan mangrove
Desa Jaring Halus tetap ada berupa adanya kegiatan pencurian kayu mangrove yang
dilakukan oleh masyarakat di luar desa yang memanfaatkan kayu mangrove untuk
membuat arang. Berdasarkan pernyataan informan, pencuri yang berasal dari luar
desa yang terbukti mencuri pohon mangrove diberi peringatan untuk tidak
mengulangi perbuatannya dan perahu serta hasil penebangannya disita.
Seacar
umum, manfaat dari keberadaan hutan mangrove untuk kehidupan masyarakat Desa
Jaring Halus dapat diidentifikasi dalam beberapa aspek, yakni sebagai berikut:
a. Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindungan baik
bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis
fauna, diantaranya :
· Sebagai protektor atau pelindung pemukiman dari abrasi atau erosi, gelombang atau angin kencang. Dengan sistem
perakaran yang kokoh, ekosistem
hutan mangrove mempunyai kemampuan
meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari abrasi, gelombang
pasang dan taufan.
·
Sebagai tempat berkembang biak dan
berlindung biota perairan seperti ikan,
udang, moluska dan berbagai jenis reptil serta jenis-jenis burung serta
mamalia.
· Pencegahan dan pengendalian
intrusi air laut ke wilayah daratan serta pengendalian dampak pencemaran
air laut.
· Sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai
jenis ikan dan udang
· Pembangun lahan melalui proses sedimentasi
· Penyerap karbondioksida (CO2) dan penghasil oksigen (O2)
·
Penghasil sejumlah besar detritus (hara)
bagi plankton yang merupakan sumber makanan utama biota laut
·
Habitat bagi beberapa satwa liar, seperti
burung, reptil (biawak, ular), dan mamalia (monyet)
b. Manfaat sosial dan ekonomis yang berkaitan dengan proses
pemenuhan kebutuhan masyarakat, yaitu sebagai sumber mata
pencaharian penduduk melalui proses pemanfaatan hasil hutan mangrove seperti
pembuatan arang, kayu bakar, bahan-bahan bangunan, lokasi pertambakan ikan, dan
lain sebagainya. Selain itu, keberadaan hutan mangrove juga mampu mempererat
silaturahmi dan gotongroyong sesama warga. Melalui sistem pengelolaan yang
berbasis kemasyarakatan, masyarakat dapat saling bekerjasama untuk menjaga dan
mengelola keberadaan hutan mangrove demi kepentingan bersama. Bagi kalangan
akademisi dan masyarakat luar, keberadaan hutan mangrove di Desa Jaring Halus
juga berfungsi sebagai sarana rekreasi atau wisata alam dan menjadi objek
penelitian dan pendidikan.
3.3.Analisis Data
Secara umum, adanya pengetahuan dan
pemahaman masyarakat terhadap pentingnya hutan mangrove disebabkan karena
tingkat ketergantungan terhadap hutan mangrove cukup tinggi terkait dengan mata
pencaharian sebagai nelayan. Sehingga untuk menjaga keseimbangan ekosistem alam
diperlukan suatu sistem pengelolaan lingkungan yang mampu menjamin keseimbangan
seluruh ekosistem. Hal ini diperkuat dengan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) yang dimiliki masyarakat
terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup yang berwawasan lingkungan. Desa
Jaring Halus mempunyai peraturan tidak tertulis yang sudah melembaga di
masyarakat yang mengatur pemanfaatan dan pengelolaan hutan mangrove.
Berdasarkan hasil penelitian dapat
diketahui bahwa dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yaitu hutan
mangrove, masyarakat Desa Jaring Halus secara tidak langsung telah menerapkan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable
development). Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang dapat
memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan
datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Pembangunan berkelanjutan adalah
suatu pendekatan yang terintegrasi atau terpadu terhadap pembangunan yang
menggabungkan sekaligus tiga pilar pembangunan, yaitu pembangunan ekonomi,
pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan hidup. Lebih jauh, dikatakan
bahwa pada tingkat yang minimum, pembangunan berkelanjutan tidak boleh
membahayakan sistem alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi (Siregar,
2004).
Berdasarkan hasil penelitian dapat
diketahui bahwa terdapat 4 (empat) dimensi dalam pengelolaan dan pemanfaatan
hutan mangrove yang dilakukan oleh masyarakat Desa Jaring Halus terkait dengan
pembangunan berkelanjutan (sustainable
development), yaitu sebagai berikut :
a. Dimensi
ekologis yakni pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya alam dalam hal ini hutan mangrove yang senantiasa memperhatikan
aspek kelestarian lingkungan. Keberadaan ekosistem mangrove dalam jumlah besar
tidak lantas membuat masyarakat serakah untuk memanfaatkannya dalam jumlah
besar untuk menghasilkan keuntungan. Penanaman (reproduksi) kembali dilakukan
secara terus menerus sehingga ekosistem mangrove tetap seimbang.
b.
Dimensi ekonomi yakni pemanfaatan hasil
mangrove untuk memenuhi kebutuhan sehar-hari dilakukan secara arif dimana
masyarakat mengambil hasil pohon mangrove hanya untuk keperluan secukupnya
saja.
c.
Dimensi sosial dan budaya yakni bahwa
dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove masyarakat saling terlibat dan
bekerjasama (gotong royong). Kegiatan gotong royong tersebut mampu mengintegarsikan
seluruh masyarakat sehingga nilai-nilai keharmonisan tetap terjaga. Hal
tersebut merupakan sesuatu yang sulit kita jumpai pada era sekarang ini
mengingat perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah menyebabkan
masyarakat semakin individualis. Sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan
mangrove tersebut juga dapat melestarikan nilai-nilai budaya yang terdapat
dalam masyarakat dan menjadi ciri khas yang sulit dihilangkan.
d. Dimensi
pariwisata yakni pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove dengan sistem
kearifan lokal dan adanya nilai-nilai budaya warisan leluhur yang masih
dipertahankan hingga sekarang merupakan daya tarik wisata yang potensial untuk
dikembangkan.
Terkait dengan praktik pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam dengan sistem kearifan lokal, Michael Dove (dalam
Swarsono, 1994) menyatakan bahwa nilai-nilai tradisional berperan penting dalam
pengelolaan lingkungan hidup dan mendorong penggunaan sumber daya alam secara
arif dan berkelanjutan. Dalam mengelola lingkungan yang berkelanjutan,
masyarakat memiliki kearifan lokal masing-masing yang harus dijaga dan didukung
demi kelestarian lingkungan. Nilai-nilai tradisional tersebut tidak boleh
dianggap sebagai penghambat pembangunan, akan tetapi justru nilai-nilai
tersebut mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Menyadari
tingginya ketergantungan manusia terhadap alam, diperlukan suatu jalan keluar
guna memadukan aspek ekologis, ekonomis dan sosial budaya dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam sehingga dapat berjalan seimbang. Prinsip ini
sejalan dengan program pembangunan berkelanjutan yang mengintegrasikan aspek
kelestarian lingkungan, ekonomi dan sosial budaya dalam kegiatan pembangunan.
Masyarakat
Desa Jaring Halus menyadari bahwa pemanfaatan hasil sumber daya alam yakni
mangrove harus diimbangi dengan upaya pelestarian sehingga tidak menimbulkan
masalah yang akhirnya merugikan kehidupan. Untuk tetap menjaga keseimbangan dan
kelestarian mangrove masyarakat memiliki peraturan tidak tertulis yang sudah
melembaga di masyarakat tentang pengelolaan dan pemanfaatan mangrove sehingga
setiap orang yang melanggar peraturan akan dikenakan sanksi. Pengelolaan hutan
mangrove dilakukan secara sukarela dan gotong royong sedangkan pemanfaatannya harus
sesuai dengan norma-norma yang telah disepakati bersama oleh masyarakat.
Prinsip ini merupakan bentuk kearifan lokal yang dihormati dan dipraktekkan
oleh masyarakat Desa Jaring Halus yang mecerminkan bahwa masyarakat telah
menganut prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan (sustainable
development).
Keberadaan
hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan sosial ekonomi dalam kehidupan
masyarakat Desa Jaring halus. Selain itu, terdapat 4 (empat) dimensi dalam
pengelolaan dan pemanfaatan hutan mangrove yaitu dimensi ekologis, ekonomi,
sosial budaya dan pariwisata. Oleh
karena keberadaan hutan mangrove sangat berperan penting dalam menunjang
keberlangsungan kehidupan dan pembangunan masyarakat Desa Jaring Halus maka
hutan mangrove harus tetap dilestarikan.
Pemerintah dan segenap stakeholder harus terus mendukung program pengelolaan lingkungan yang
dilakukan oleh masyarakat Desa Jaring Halus dengan memberikan bantuan baik
materil maupun non materil, upaya perlindungan hukum dan pelatihan pada
masyarakat supaya semakin kreatif dalam mengelola dan meamfaatkan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. 2011. Penelitian Kualitatif. Jakarta : Kencana.
Doral, Nuriza. 2006. Jurnal Kerabat. Deskripsi
tentang Desa Jaring Halus. Volume I Nomor 1 Maret 2006
Irwanto. 2007. Analisis Vegetasi Untuk Pengelolaan Kawasan
Hutan Lindung Pulau Marsegu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku
(Tesis). Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.
Nasution, S. 1996. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif.
Bandung : Tarsito.
Siregar, Doli D. 2004. Manajemen
Aset Strategi Penataan Konsep Pembangunan Berkelanjutan Secara Nasional Dalam
Konteks Kepala Daerah Sebagai CEO’s pada Era Globalisasi & Otonomi Daerah.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Suwarsono & Alvin Y. SO. 1994. Perubahan Sosial Dan Pembangunan.
Jakarta : LP3ES.
Internet :
http://nasional.tempo.co/read/news/2012/11/05/206439807/1-8-juta-hektare-hutan-mangrove-di-indonesia-rusak
Tags : Jurnal Sosiologi