MAKALAH: PEMUDA BERBICARA KERUKUNAN BERAGAMA DI SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui dan menelaah bagaiamana agama sebagai struktur
institusional dalam masyarakat, bisa memberijan aspirasi pemersatu pemuda dan
pemudi dalam menciptakan karakter dan komunitas bermoral. Agama yang dimiliki
individu bisa menciptakan suasana yang berdampingan dan menuju pembangunan
dalam masayarakata. Secara khusus dalam pemuda-pemudi yang ada dalam
masyarakat.
Agama yang menyangkut kepercayaan serta
berbagai praktek, benar-benar merupakan masalah sosial dan sampai saat ini
senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat, terutama pemuda-pemudi yang
merupakan bagian dari masyarkat. Adapun tujuan dari artikel ini adalah
bagaimana agama sebagai struktur institusional penting yang melengkapi
keseluruhan sistem sosial menjadi aspirasi pemersatu pemuda dalam menciptakan
karakter baik dan komunitas bermoral.
Penelitian
ini dilakukan dengan rancangan kualitatif, dengan pendekatan studi kasus yang
dilakukakn di Jl. Bungan Bangsa Simalingkar B, Kec. Medan Tuntungan, Medan.
Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara mendalam pada 20 pemuda-pemudi
dengan melakukan observasi terhadap komunitas agama.
Hasil
penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana agama sebagai sumber absolut
nilai dan noma bisa dibuktikan dengan berkarakter yang baik dan sesuai dengan
hukum yang berlaku.
2.
Agama sebagai bentuk pemersatu
pemuda-pemudi demi kemajuan komunitas dan memberikan dampak yang nyata bagi
masyarakat
3.
Pemahaman terhadapa agama, nilai dan norma
yang terkandung di dalamnya bisa berdampak yang baik dalam pembangunan karakter
dan komunitas yang bermoral dalam masyarakat
4.
Pemuda-pemudi yang menjadi agen dalam
masyarakat, bisa memberikan teladan yang baik bagi anak-anak serta orang tua
yang membutuhkan semangat dan pemahaman yang baru dalam masyarakat.
Kata
Kunci: Agama, Struktur Institusional,
Karakter dan Komunita Bermoral.
BABI
PENDAHULUAN
1.
1.Permasalahan Penelitian
Konflik yang sering terjadi di
negara ini ternyata cenderung dipicu ke
arah etnis dan unsur SARA atau sering dipicu mengarah pada permasalahan suku
dan agama. Kerukunan antar umat beragama bangsa Indonesia benar-benar diuji
oleh begitu banyaknya kekerasan yang mengatasnamakan agama. Tercatat kekerasan
berlatar belakang agama meningkat secara signifikan dalam dua tahun terakhir.
Kerinduan-kerinduan manusia akan
tatanan kehidupan yang baik, senantiasa mendorong upay untuk terus menerus
mencari sumber-sumber moral dan spritual yang berguna bagi kehidupan. Pencarian
itu kemudian menemukan figur-figur penting yang menentukan sejarah peradaban
manusia. Sebagian ajaran dalam agama menjadi
melembaga dan berkembang di tengah-tengah masyaraktat dan dilestarikan
lewat tradisi dan pemikiran saja. Dalam hal banyak keberlansungan ajaran moral
dan spiritual beserta intitusinya banyak ditentukan oelh meomentum kritis
kehidupan manusia dan kemampuan agama itu beradaptasi dengan realitas sosial
dan kebudayaan. Terutama, dalam hal ini pemuda sebagai agen dalam perdamaian
masyarakat, terutama di Kota Medan, yang bisa dipastikan mejemuk dan memiliki
latar belakang yang berbeda-beda.
Setiap pemeluk agama pasti meyakini
bahwa agama yang dianutnya benar. Namun secara jujur harus diakui pula bahwa
sesungguhnya tidak diketahui tahu persisn
bagaimana cara beragama yang benar. Kalau demikian, menghormati
keyakinan atau agama yang dianut dan diyakini kebenarannya oleh orang lain
merupakan kenicayaan yang harus diterima oleh seluruh komunitas beragama. Tanpa
kesediaan untuk menghormati keyakinan orang lain berbeda, berarti pula pengabsahan
terhadap orang lain untuk tidak menghormati keyakinan kita sendiri. Dalam
kenyataannya, membangun saling pengertian antar komunitas beragama bukanlah
perkara yang mudah. Sebaliknya, perbedaan-perbedaan antaragama justru banyak
memunculkan rasa saling curiga, gesekan, bahkan konflik, kekerasan serta
pertumbahan darah. Salah satu di antaranya penyebab gesekan dan konflik
antarkomunitas beragama, biasanya adalah klaim kebenaran terhadap agamanya
sendiri. Klaim tersebut yang tidak disertai dengan kesediaan untuk menghargai
dan menerima kehadiran komunitas lain yang berbeda.
Perlu diingat bahwa agama-agama
sesungguhnya muncul, ketika sejarah dan tatanan sosial menyimpang dari
nilai-nilai kemanusian. Munculnya komunitas-komunitas baru dalam sangat mungkin
merupakan akibat panjang dari mulai berkurangnya dimensi menghormati dan adanya
lapisan dalam masyarakat yang menyebabkan kurangnya solidaritas sosial dalam
masayarakat. Sehingga keadaan saat ini, pemuda dan pemudi dalam masyarakat bisa
memberikan tanggung jawab moral dan eksistensi kepribadian yang bisa dilakukan
setiap individu dan juga lingkungan pertanggungjawaban komunitas moral.
Oleh karena itu penting dipahami
bagaimana agama dapat memberikan dampak terhadap terberntuknya komunitas
bermoral serta pencapaian dalam mewujudkan kepribadian yang sesuai dengan nilai
dan norma dalam masyarakata. Maka dengan demikian, artikel ini akan diisi
dengan pemahaman yang objektif terhadap
penjelasan dan mengusahakan memberikan penjelasan dalam mewujudkan tingkah laku
yang bermoral.
1.2 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan
untuk melihat dan membahas agama sebagai inspirasi pemuda dan pemudi dalam
mewujudkan agama sebagai struktur institusional pembentuk kepribadian yang
berkarakter serta meningkatkan komunitas yang bermoral dalam masyarakat serta
bagi pembangunan dalam masyarakat.
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat
penelitian ini adalah menyumbang terhadap “Pemuda Berbicara Kerukunan Umat
Beragama di Wilayah Sumatera Utara” dalam mengisi kegiatan GMKI. Sebagaimana
karya ini adalah bentuk kompetisi dalam kegiatan ini, penulis berharap bisa
diberikan penilaian dan kejujuran. Sehingga pemuda dan pemudi bisa mencapai
titik tujuan dalam komunitas serta memahami lewat bacaan dan karya ini
Manfaat
yang lain adalah, bisa mendapatkan kejuaraan walaupun masih banyak kekuarangan
dan juga kritikan yang harus diterima demi tercapainya kualitas yang lebih baik
ke depannya.
BAB
II
ISI
2.
1. Tinjauan Pustaka
2.1.1.Pengertian
agama
Agama
adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa
semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang
memenuhi syarat untuk disebut sebagai agama.
Agama terdiri dari tipe-tipe simbol, citra, kepercayaan dan nilai-nilai
spesifik dengan mana mahkluk manusia menginterprestasikan eksistensi mereka.
Agama sendiri memiliki ritual, sehingga agama tergolong juga dengan struktur
sosial. Perhatian kita harus bersifat ilmiah. Kita ingin mengetahui agama itu,
bagaimanakah bentuk-bentuk agama itu disepanjang waktu dan ruang, dan bagaimana
agama itu bisa berubah sesuai dengan pengeturan material dan sosial.
Masalah
pokok dalam mengahadapi defenisi agama adalah dengan menentukan di mana
batas-batas gejala itu harus ditempatkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia
dengan lingkungannya.
Defenisi
inklusif merumuskan agama dalam arti yang luas yang memandang sebagai sistem
kepercayaan dan ritual yang diresapi dengan “ kesucian” atau yang
diorientasikan kepada penderitaaan manusia yang abadi. Pandangan inklusif
biasanya melihat agama sebagai [1]bukan saja sistem-sistem
yang teistik yang diorganisasi tentang kekuatan supernatural, tetapi juga
berbagai sistem kepercayaan nonteistik seperti komunisme, nasionalisme dan
humanisme. Defenisi eksklusif membatasi membatasi istilah agama itu pada
sistem-sistem kepercayaan yang mempostulatkan eksistensi mahkluk hidup,
kekuasaan atau kekuatan supernatural.
Sedangkan
menurut beberapa ahli, agama adalah suatu sistem kepercayaan yang disatukan
oleh praktek-praktek yang bertalian dengan hal-hal yang suci, yakni hal-hal
yang diperbolehkan dan dilarang-kepercayaan dan praktek-praktek yang
mempersatukan suatu komunitas moral yang disebut dengan Gereja, semua mereka
terpaut satu sama lain (Durkheim). Sedangkan menurut pendapat Bellah, agama
adalah seperangkat bentuk tindakan simbolik yang menghubungkan manusia dengan
kondisi akhir eksistensinya. Dan menurut pendapat Yinger, agama adalah sistem
kepercayaan dan praktek di mana suatu kelompok manusia berjuang menghadapi
masalah-masalah akhir kehidupan manusia.
2.1.2.
Struktur Institusional
Struktur sosial dipahami sebagai suatu bangunan sosial
yang terdiri dari berbagai unsur pembentuk masyrakat. Unsur ini saling
berhubungan satu dengan yang lain secara fungsional. Artinya kalu terjadi
perubahan salah satu unsur, unsur yang lain akan menagalami perubahan juga.
Koentjaraninggrat menjelaskan bahwa struktur sosial adalah kerangka yang dapat
menggambarkan kaitan berbagai unsur dalam masyarakat. Sementar itu, Soeleman B.
Taneko menjelaskan bahwa struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara
unsur-unsur sosial yang pokok yakni kaidah-kaidah sosial, lembaga sosial,
kelompok sosial serta lapisan sosial.
Jika struktur sosial diibaratkan sebagai sebuah gedung
bertingkay tiga, dan atap gedung adalah agama masyarakat, maka atap ini tidak
saja sebagai atap bangunan gedung paling atas, melainkan juga atap bagi lantai
dua atau satu. Pola hubungan ini akan berlangsung di bawah norma dan nilai yang
mereka sepakati bersama.
Institusional adalah proses pelembagaan struktur sosial
itu yang merupakan komponen sosial yang saling mendukung kelangsungan hidup
masyarakat tersebut. Ada juga institusi yang terbentuk dengan sendirinya.
Memang dalam realitas sosial ada nilai dan norma yang menjadi pedoman perilaku
sebagai anggota masyarakatnya. Jadi, agama sebagai strutktur institusional
adalah alat untuk mengikat perilaku anggota masyarakat agar berperilaku sesuai
dengan dengan tatanan aturan yang menjadi keseakatan kelompok sosial.[2]
2.1.3.
Hubungan Agama dengan Pemuda sebagai Anggota Masyarakat
Telah kita ketahui
Indonesia banyak sekali budaya dan adat istiadat yang juga berhubungan dengan
masyarakat dan agama. Dari berbagai budaya yang ada di Medan dpat dikaitkan
hubungannya dengan agama dan masyarakat dalam melestarikan budaya yang
merupakan melekt dengan masyarakat. Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke
dalam sistem masyarakat yang mutlak, nilai agama juga harus bisa menunjukkan
kesetaraan terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Agama bisa menjadi
integrasi dan persatuan secara keseluruhan yang berasal dari anggota masyarakat
tersebut.
Pemuda yang merupakan agen perubahan dalam masyarakat
harus bisa menujukkan diri sebagai pemuda yang memiliki karakter sesuai dengan
nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Bisa menciptakan fungsi-fungsi
agama dalam masyarakat, yaitu:
1.
Pemuda bisa berperan dalam penentu di mana
agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik di antara anggota masyarakat
maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka ke
arah yang lebih baik.
2.
Fungsi agama sebagai sosialisasi individu,
pada saat ia tumbuh menjadi dewasa, memerlukan sistem nilai sebagai semacam
tuntutan umum untuk mengarahkan aktivitasnya dalam masyarakat.
3.
Sebagai pemuda, diharapkan bisa memberikan
pendidikan agama melakukan apa yang pantas dilakukan dan terbiasa dengan baik
dan benar menurut agama masing-masing,
4.
Fungsi perdamaian, melalui tuntutan agama,
pemuda yang bersalah atau berdosa mencapai kedamaian dengan diri sendiri,
sesama, semesta.
5.
Fungsi agama juga adalah kontrol sosial
dalam masyarakat, membentuk pengikutnya menjadi peka terhadap lingkungannya
seperti, kemaksiatan, kemiskinan, keadilan, kesejahteraan, dan kemanusian.
6.
Agama jug bisa memberikan fungsi kreatif,
untuk menopang dan mendorong fungsi pembaharuan untuk mengajak umat beragama
bekerja produktif dan inovatif bukan hanya bagi sendiri, juga bagi orang lain.
Secara
konsepsi agama merupakan hal yang berhubungan dengan sakral dan merupakan
institusi-institisi berbeda-beda dan
khusus yang berhubungan dengan Yang Maha Suci. Dari sini kita bisa dapat
menemukan ikatan sosial dan refleksi dasar keagamaan semua kelompok manusia
yang secara sosial hidup bersama. Revivalisme agama dan juga pentingnya
menjalin hubungan sesama penganut agama.[3]
Menurut
Talcott Parsons, faktor-faktor yang menyebabkan manusia membutuhkan institusi
agama adalah (1).Karena ketidakmengertian dan ketidakmampuan manusia dalam
menghadapi masalah tertentu seperti kematian, bencana alam, kesaktian, (2).
Karena kelangkaan hal-hal yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan.
2.1.4.
Komunitas Bermoral
Komunitas adalah salah satu istilah yang masih kabur
dalam sosiologi. Secara minimum, istilah ini adalah kumpulan orang dalam suatu
wilayah geografis. Tiga elemen lain yang dapat digunakan dalam pemakaian
apapun: (1) komunitas dapat dianggap sebagai kumpulan orang dengan struktur
sosial tertentu. Oleh karena itu, terdapat kumpulan yang bukan merupakan
komunitas. (2) rasa kepemilikan dan semangat komunitas. (3) semua kegiatan sehari-hari
komunitas terjadi dalam wilayah geografis itu. Pandangan itu mengenai komunitas
mungkin memuat beberapa atau semua elemen tambahan ini. Komunitas dibentuk
secara esensial merupakan konstruk mental yang dibentuk oleh batasan yang
terbayang antarkelompok. Jadi orang memandang diri mereka sebagai sebuah
kelompok yang berwatak sehingga berbeda dari kelompok lain bahkan jika mereka
tidak mengenal anggota lai dari komunitas terbayang secara personal.
Moral berhubungan dengan nilai. Mari kita mulai dengan menggarisbawahi
bahwa dalam arti tertentu nilai moral tidak merupakan suatu kategori nilai
tertentu di samping kategori-kategori nilai lain. Moral tidak bisa dipisahkan
dari nilai-nilai jenis lainnya. Setiap nilai dapat memperoleh suatu “bobot
moral” bila diikutsertakan dalam tingkah laku moral. Ciri-ciri moral
(!).berkaitan dengan tanggung jawab kita. Suatu nilai moral hanya bisa
diwujudkan dalam perbuatan-perbuatan yang sepenuhnya menjadi tanggungjawab
orang bersangkutan. (2). moral juga berkaitan dengan hati nurani, diwujudkan
dari “imbauan” dari hati nurani. Salah satu
ciri khas nilai moral adalah bahwa nilai ini menimbulkan “suara” dari
hati nurani yang munuduh kita hila meremehkan atau menentang nilai-nilai moral
dan mewujudkan kita melakukannya. (3). Mewajibkan, ini berhubungan dengan bahwa
moral tidak bisa ditawar-tawar lagi sudah absolut di dalam masyarakat. (4).
Bersifat formal, nilai moral merupakan suatu jenis nilai yang bisa dietempatkan
begitu saja di samping jenis-jenis nilai lainnya. Biarpun nilai-nilai moral
merupakan nilai tertinggiyang harus dihayati di atas semua nilai lain.[4]
3.1.
Penelitian Relevan
Aspek perilaku
pemuda-pemudi akhir-akhir cukup mendapat sorotan dan perhatian dari beberapa
kalangan. Hanya saja dalam berbagai tulisan pada umumnya yang ada cenderung
melihat persoalan dalam agama. Banyak sekali kejadian yangg tidak diinginkan
bisa terjadi dalam masyarakat, itu bisa dilihat dengan adanya pemuda yang
menjadikan dirinya tidak berkarakter dalam masyarakat. Sehingga pemuda sebagai
agen perubahan dalam masyarakat tidak bisa memberikan jati diri yang bisa diterima masyarakat dengan baik.
Beberapa tulisan yang relevan sama bahwa kondisi masyarakat bisa
menyalahgunakan agama sebagai bentuk konflik yang terjadi.
Terlebih dalam masyarakat terdapat beberapa organisasi di
bawah naungan agama masing-masing pemuda dan pemudi. Dalam hal ini agama juga
merupakan salah satu aspek kehidupan kelompok sosial. Akan tetapi, dalam
perkembangan masyarakat bisa menjadikan agam sebagai individualisme yang rentan
dengan konflik. Lama-lama kelamaan tampillah organisasi yang berfungsi internal
dan stratifikasi yang ditimbulkan oleh agama. Kehadiran komunitas agama,
menunjukkan salah satu aspek dari semakin meningkatnya kelompok sosial.
Pengalaman keagamaan mengarah perhatian kita pada aspek
lain dari asal-usul perkembangan agama yang didirikan ialah mencoba memberikan
gambaran tentang struktur agama tersebut. Organisasi keagamaan dan komunitas
agama dalam masyarakat, merupakan susatu proses sosial yang kompleks, di mana
rutinitas kharisma dan kesinambungan pengalaman keagaman yang telah dilakukan
merupakan aspek yang penting.
4.1.
Metode Penelitian
4.1.1.
Lokasi Penelitian
Penelitian
ini dilakukan dengan rancangan kualitatif, dengan pendekatan studi kasus yang
dilakukakn di Jl. Bungan Bangsa Simalingkar B, Kec. Medan Tuntungan, Medan.
Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara mendalam pada 20 pemuda-pemudi
dengan melakukan observasi terhadap komunitas agama yang ada di daerah
tersebut. Daerah ini saya pilih karena merupakan lokasi yang memiliki strategis
bagi, khususnya dalam komunitas agama Kristen yang di dominasi di lokasi
penelitian ini. Oleh karena itu, lokasi penelitian ini merupakan pilihan
peneliti dalam mencapai studi kasus dan wawancara yang mendalam bagi
masyarakat.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hal ini
dikarenakan dengan pendekatan kualitatiuf, sikap dan pandangan objektif dari
informan bisa digali lebih dalam masyarakat. Di samping itu, peneliti juga
ingin mendapatkan informan tidak hanya sebagai objek penelitian tetapi juga
mengusahakan adannya pembangunan kesadaran sepihak pada individu maupun
komunitas yang ada dalam masyarakat.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan
dan metode penelitian kualitatif berupa studi kasus. Penelitian kualitatif
merupakan tradisi tertentu dalm ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental
bergantung pada pengamatan tentang manusia dalam ruang lingkupnya dan peneliti
berhubungan dengan orang tersebut dalam bahasa mereka. Menurut Mulyana (2002)
tujuan penelitian kuantitatif adalah untuk memperoleh pemahaman yang otentik
mengenai pengalaman orang-orang sebagaimana dirasakan oleh yang bersangkutan.
Data yang dibutuhkan dalam penelitian adalah berupa data
primer dan data sekunder, yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Data
primer didapat dengan cara wawancara dan pengamatan langsung di lapangan.
Seperti yang telah direncanakan dalam penelitian ini adalah dengan cara
mengidentifikasi informan yang akan diwawancarai.
Beberapa teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penilitian ini adalah observasi, serta menggunakan data sekunder. Data yang
berhasil diperoleh catatan lapangan untuk kemudian digolong-golongkan
berdasarkan tema dan masalah penelitian dengan mengacu kepada rencana laporan
penelitian. Data yang sudah diklasifikasikan tersebut baru kemudian
diinterprestasi dan dikaitkan dengan hubungan dengan asumsi teoritis
berdasarkan tujuan penelitian dan permasalahan. Penelitian iini dilakukan di
Jl. Bunga Bangsa, Simalingkar B, Kec. Medan Tuntungan, Kota Medan.
4.1.3
Metode Pengumpulan Data
Penelitian dan pembahasan ini dilakukan dengan
mengumpulkan hasil wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah. Tahapan
dalam proses pengumpulan data yang diawali dengan pengenalan dan beberapa
wawancara yang intens dengan beberapa pemuda-pemudi yang ada di lokasi
penelitian. Gambaran dan juga hasil wawancara di dalam masyarakat memperoleh
hasil dan juga mendapatkan hasil yang terbaik dari 20 orang pemuda dan
pemudi yang menjadi prioritas dalam
penelitian.
4.1.4
Analisis Data
Setelah data kualitatif terkumpul sesuai dengan informasi
yang dibutuhkan untuk menjawab masalah penelitian. Dipahami sebagai bentuk
pemahaman terhadap apa menjadi prioritas pemuda dalam mengembangkan karakter
dan juga motivasi komunitas yang dimiliki.
5.1.
Pembahasan
Secara mendasar dan umum, agama merupakan seperangkat
aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib khususnya
Tuhan, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya. Sebagai sistem
keyakinan yang dianut oleh masyarakat dan mengintreprestasi dan memberi respon
terhadapa apa yang dirasakan dan diyakini sebagai gaib dan suci. Agama memiliki
isi sebagai ajaran yang tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusai dan
sebagai penunujuk hidup selama berada di dunia in, taqwa kepada Tuhan, beriman,
manusiawi, yang sangat berbeda dengan hewan, makhluk lain yang jahat, serta
yang berdosa.
Agama sebagai sarana bagi kelompom orang untuk menafsirkan
dan menanggapi apa yang dirasakan sebagai pengada adikodrati dan kudus, yang
memiliki se[perangkat hukum yang selalu mengacu pada kehendak Yang Mahakuasa. Setiap
agama memiliki unsur-unsur, yakni kepercayaan, simbol, penganut agama, dan
pengalaman agama. Agama sebagai instutusional dalam masyarakat merupaka sistem
keyakinan dan praktik keagamaan yang penting dalam masyarakat. Selain dari pada
itu, agama yang memiliki praktik dan ciri-ciri yang berbeda-beda, bukan
dijadikan untuk menunjukkn kehebatan. Melainkan rasa toleransi bisa menjadi
obat yang mujarab dalam pengembangan sikap dan orientasi pemuda dan pemudi saat
ini. Agama juga dicirikan sebagai aspirasi dalam masyarakat, moralitas yang
cukup tangguh, sebagai sumber tatanan dalam masyarakat dan perdamaian batin
antarindividu.
Wawancara yang saya dapatkan bahwa, kecenderungan
komunitas menganggap dirinya sebagai yang tertangguh dan sukar bergabung dengan
komunitas lain dalm perwujudan perdamaian dan suasana yang saling bertoleransi.
Hal itu harus dibuang dalam jiwa pemuda dan pemudi, tidak bisa dibiarkan salah
pemahaman itu bisa berbuah terhadap konflik yang sangat besar. Dalam jiwa anak
muda sekarang, bukan hanya mengekspresikan dirinya lewat pemahaman yang salah
dan kurang memadai sejauh ini, namun bisa terbukti dengan karakter yang bisa
diterima dalam masyarakat. Membentuk komunitas agama, yang mengatasnamakan
agama nilai dan norma agama itu sendiri tidaklah mudah bagi pemberian pemahaman
kepada setiap anggota masyarakat.
Kesalingterkaitan antar invidu dan melaksanakan esensi
dari agama itu sendiri. Merupakan bukti nyata bahwa tujuan agama adalah untuk
tidak menyebankan suasana kacau. Seringkali agama dituduh sebagai penghambat
dalam kemajuan berpikir manusia, sifat yang tidak toleran, egois, sehingga
agama itu bisa mempertahankan tatanan sosial yang sejauh ini sudah dipupul
dalam pemuda dan pemudi di Kota Medan, khususnya di tempat penelitian. Bukan
menjadikan agama itu adalah sifat yang
evolusioner sehingga bisa menyebabkan tindak kekerasan yang ada dalam
masyarakat.
Agama selain sebagai fungsi ritualitasnya juga
merupakan pemerkuat solidaritas yang ada
dalam masyarakat. Pada masyarakat dan kelompok komunitas yang sudah
berpengalaman dan memiliki jiwa perdamaian, senantiasa menujukkan sifat yang
terbuka terhadap perbedaan. Bukan karena perbedaan itu membuat kita semakin
tertutup dan hanya berkontribusi bagi komunitas yang didudukinya. Agama bukan
dijadikan sebagaia halangan bergaul, meningkatkan mobilitas, stratifikasi dalm
masyarakat, namun membuat suatu totalitas sebagai penunjuk karakter yang
berwawasan , berjuang melawan keterbelakangan, menjalankan norma dan nilai yang
terkandung di dalamnya, dan praktek nyata dalam kehidupan sosial. Agama yang
dianut haruslah bisa menunjukkan dan menjadikan sifat dasar manusia itu
terbentu sesuai harapan masyarakat yang luas.
Di dalam berbagai komunitas sosial keagamaan tertanam
pelaksanaan yang menopang norma dan nilai yang ada dalam masyarakat. Karena
itu, memantapkan kembali norma dan kesadaran para penganutnya, tidak lebih dari
situ, agama yang sudah menjadi darah sejak kecil yang dimiliki oleh kaum muda, berjalan
dan menyikapi agama sebagai perintah itu didasarkan atas persamaan dan
kedamaian masyarakat di lingkunggannya. Berbagai tindakan yang mana sebagai
yang diperintahkan maupun dianjurkan dalam masyarakat, maka peran agama yang
dimiliki itu semakin mengukuhkan sebagai norma dan nilai yang sakral bagi
manusia.
Wujud daripada pengukuhan itu ialah sebuah karakter dan komunitas yang bermoral
di mana agama memberikan tingkah laku mana yang bisa dilakukan dan yang tidak
bisa dilakukan. Jadi, melalui pemahaman ini segala bentuk penyimpangan yang
biasanyta dilakukan oleh kaum muda bisa diminimalkan menjadi bentuk tingkah
laku yang berdasarkan norma dan nilai di hadapan manusia lainnya, agama itu
sendiri, masyarakat, serta terutam bisa mengambil bagian dalam pencapaian
cita-cita komunitas yang dimiliki. Selain daripada itu agama bisa berkontribusi
lewat pamahaman yang tertuang dalam ajaran yang dimiliki oelh setiap individu.
5.1.1
Karakter yang Diharapkan Dilakukan Pemuda dan Pemudi
Dalam konteks komunitas dan karakter dalam
masyarakat, fungsi agama yang harus dilakukan adalah dalam bentuk pelaksanaan bukan hanya
mengetahui saja. Aksi dan reaksi yang ada masyarakat yang bentuk karakter,
sikap dan perilaku manusia dalam kehidupan sosial dalam masyarakat. Agama
sangat penting dalam masyarakat terutana untuk mewujudkan suasana yang
berdampak positif dalam masyarakat. Adapun hasil yang penelitian yang harus
dilakukan pemuda dan pemudi adalah sebagai berikut:
1) Memberikan
cakrawala pandang tentang dunia luar yang tak terjangkau oleh manusia (beyond), (misalnya keyakinan akan
hal-hal yang gaib yang tidak terjangkau oleh nalar manusia sepeti pengetahuan
tentang Tuhan, malaikat, setan, jin, dan sebagainya), dalam arti di mana
deprivasi dan frustasi dalam dialami sebagai suatu yang mempunyai makna. Sikap
ffrustasi dan deprivasi yang dialami manusia akhirnya mendapatkan pencerahan
baru dan ajaran agama, seperti sikap serba prasangka baik terhadap nasib dan
bersyukur pada kepada Ilahi, sering kali menimbulkan hati bagi pengikut agama.
2) Sebagai
sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal di luar
jangkauannya yang memberi jaminan dan keselamatan bagi manusia untuk
mempertahankan moralnya. Hal ini jika dirujuk, jika merujuk kembali pada situasi
dan keyakinan akan adanya kehidupan akhiratb yang kekal di mana seluruh
tindakan manusia semasa hidup telah memberikan spirit moral bagi periaku
manusia.
5.1.2 Agama Sebagai Komunitas
Bermoral Pemuda dan Pemudi
Sebagai
terciptanya komunitas yang bermoral dan berkarakter sesuai dengan apa yang
diharapkan, yang perlu diperhatikan dalam pemuda dan pemudi adalah menunjukkan harapan
komunitas dan pembentukan diri di dalamnya. Dengan demikian agama yang haruslah
dijadikan sebagai dasar dan sumber pengetahuan, pelaksanaan serta menjamin
pemeliharaan umat beragama dalam masyarakat. Adapun hasil penelitian itu adalah
sebagai berikut:
1) Pemuda
dan pemudi harus bisa menyucikan norma-norma dan nilai masyarakat yang telah
terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan komunitas di atas kepentingan
individu, dan disiplin komunitas di atas dorongan individu. Dengan demikian,
agama yang dianut pemuda dan pemudi memperkuat legitimasi bagian fungsi,
fasilitas dan ganjarann yang merupakan ciri khas masyarakat itu sendiri.
2) Agama
juga harus di dasarkan pada perhatian pemuda dan pemudi pada suatu yang ada di
luar jangkauan manusia yang melibatkan takdir dan kesejahteraan. Terhadap
lingkungan sosial serta manusia dan
individu memberikan tanggapan terhadap komunitasnya, juga memberikan atau
menyediakan bagi pemeluknya dukungannya, penghibur lara dan rekonsiliasi.
Manusia membutuhkan dukungan moral dalam masyarakat yang termasuk pemuda dan
pemudi. Di dalam dukungannya, agama itu sendiri bisa menopang nilai-nilai dan
norma yang ada masyarakat, memperkuat solidaritas, dan membantu mengurangi
kebencian.
3) Agama
menawarkan hubungan trandental melalui pemujaan dan upacara ibadat, sehingga
memberikan dasar emosional dalam masyarakat, rasa aman bagi kaum muda, dan
identitas yang lebih kuat di tengajh ketidakpastian dan ketidakberdayaan
kondisi manusia dari arus perubahan sejarah. Melalui ajaran di dalamnya,
niscaya jika dilakukan bisa berkontibusi dan meberikan teladan yang baik dalam
masyarakat. Fungsi ini haruslah dilakukan pemuda dan pemudi, sebagai penumbang
karakter dalam masyarakat, ketertiban dan menjauhi penyimpangan sosial.
4) Agama
harus dijadikan kaum muda sebagai standar nilai dalam bergaul, dalam arti
norma-norma yang telah melembaga dapat dikaji secara kritis dan kebetulan
memberikan masyarakat yang membutuhkan. Hal ini mungkin benar, khususnya dalam
hubungan dengan agama yang menitikberatakan superioritas kemerdekaan kaum muda
di hadapan orang tua dan khalayak yang ramai.
5) Agama
melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting dalam masyarakat. Dengan
menerima nilai-nilai yang terkandung dalam agama dan kepercayaan tentang
hakikat individu di dalam komunitas agama, doa, serta praktek pemujaan.
Sehingga pemuda dan pemudi memengaruhi pengertian individu tentang siap dia dan
apa dia di dalam komunitas.
6) Agama
juga dibuat sebagai sarana toleransi dalam pemuda dan pemudi. Bukan hanya
mengatakan ajaran agamanya yang paling benar tanpa mengahargai posisi agama
orang lain. Dalam pencapaian fungsi ini, agama berkontribus terbentuknya suasan
ataupun kondid yang berjalan secara strukturalis dalam masyarakat.
Agama
dengan semangat yang dikandungnya bisa menjadi faktor berperan berperan untuk
mengangkat manusia dari perjalanan nilai yang semakin semrawut. Namun demi
kepentingan individu dalam masyarakat yang luas, diharapkan bisa terjalin
kerjasama dalam individu. Dalam hal ini, efektif dan tidaknya peran dan fungsi
agama dalam menangggapi perubahan sosial akan saling bergantung peletakan agama
itu sendiri.
Dalam
pencapaian karakter yang diharapkan dalam masyarakat, sehingga dibutuhkan
pamahaman yang kuat dalam masyarakat. Jangan sampai salah dalam penilaian
terhadap pelaksanaan di dalam lapangan. Tak terkecuali yang dimaksud dengan
pemahaman yang lebih faktual terhadap pelaksanaan gama sebagai orientasi dalam
pemuda dan pemudi.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Apa sebenarnya fungsi agama dalam masyarakat? Dalam
menjalankan nilai dan tugas yang dihadapkan kepada setiap individu dalam
masyarakat, fungsi agama itu yakni, “to
make us act, to aid us to live. The believer who has comunicated with his god
is not merely a man who sees new truths of which the unbeliever is ignorant, he
is man who is Stronger”.
Komunitas
adalah salah satu istilah yang masih kabur dalam sosiologi. Secara minimum,
istilah ini adalah kumpulan orang dalam suatu wilayah geografis. Tiga elemen
lain yang dapat digunakan dalam pemakaian apapun: (1) komunitas dapat dianggap
sebagai kumpulan orang dengan struktur sosial tertentu. Oleh karena itu,
terdapat kumpulan yang bukan merupakan komunitas. (2) rasa kepemilikan dan
semangat komunitas. (3) semua kegiatan sehari-hari komunitas terjadi dalam
wilayah geografis itu. Pandangan itu mengenai komunitas mungkin memuat beberapa
atau semua elemen tambahan ini. Komunitas dibentuk secara esensial merupakan
konstruk mental yang dibentuk oleh batasan yang terbayang antarkelompok.
Struktur
sosial dipahami sebagai suatu bangunan sosial yang terdiri dari berbagai unsur
pembentuk masyrakat. Unsur ini saling berhubungan satu dengan yang lain secara
fungsional. Artinya kalu terjadi perubahan salah satu unsur, unsur yang lain
akan menagalami perubahan juga. Koentjaraninggrat menjelaskan bahwa struktur
sosial adalah kerangka yang dapat menggambarkan kaitan berbagai unsur dalam
masyarakat. Sementar itu, Soeleman B. Taneko menjelaskan bahwa struktur sosial
adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok yakni
kaidah-kaidah sosial, lembaga sosial, kelompok sosial serta lapisan sosial. Hal
itulah yang dihadapi masyarakat dalam mengembang, terutama dalam pemuda-pemudi
yang berkumpul dalam komunitas yang akan saling memberikan dampak yang positif
serta bisa berdampingan dengan baik dalam masyarakat.
Sesama
umat beragama yang pada tentunya semua agama mengajarkan hal yang baik dalam masyarakat.
Tidak menjadikan perbedaan menjadi sumber maslaha ataupun konflik dalam
masyarakat. Namun senantiasa, memberikan karakter yang mendukung terhadap
sesama. Bukan hanya itu saja, agama bisa dijadikan ujung tombak dalam
masyarakat bisa dihapuskan dalam masyarakat. Sehingga, dalam menciptakan
suasana yang rukun dibutuhkan pemahaman yang kuat terhadap agama dan
prakteknya. Menjalin kerja sama antarkomunitas, setidaknya bisa berdampak
terhadap masyarakat yang ada di sekitarnya.
Agama
dapat mengantar individu-individu anggota masyarakat menjadi makhluk sosial.
Agama dapat masyarakat, memeliharanya di hadapan manusia dalam arti memberikan
nilai bagi manusia, menanamkan sifat dasar manusia untuk-Nya. Masyarakat dan
pemuda-pemudi menampakkan sikapnya sesuai dengan tujuan agama. Bukan hanya
topeng saja, melainkan melakukan apa yang tertulis. Agama juga merupakan sarana
bagi kelompok sosial untuk secara periodik mengukuhkan kembali individu.
3.2.
Saran
Saran
yang bisa diberikan bagi setiap individu, khususnya pemuda-pemudi yangs
sekarang. Sebagai komunitas dalam masyarakat orientasi utama komunitas adalah
melakukan kaidah sosial yang sudah dilembagakan masyarakat. Agama sebagai
seperangkat aturan dalam masyarakat dan juga mengatur hubungan antara manusia
lainnya, bisa dibuktikan pemuda dan pemudi dalam kehidupannya.
Ajaran-ajaran
mengenai agama merupakan kebenaran yang tertinggi dan mutlak dengan eksistensi
manusia dan petunjuk-petunjuk untuk bisa bergabung dalam masyarakat. Sehingga
pemuda-pemudi bisa membentuk komunitas yang bermoral dan berkarakter di
lingkungan sosialnya. Bukan, menjadikan perbedaan itu menjadi jarak sosial dan menjadi
pelapisan yang tidak bisa bersatu dalam mewujudkan peningkatan karakter dan
moral serta kemajuan dalam masyarakat. Sehingga bisa terwujud pemuda-pemudi
yang bermoral dan berkarakter baik dalam pembangunan dewasa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Dalman.
2014. Keterampilan Menulis. Jakarta.
PT. Raja Grafindo Persada.
Jamil,
Mukhsin. 2008. Agama-agama Baru di Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Belajar
Agus.
Bustanuddin. 2003. Sosiologi Agama. Padang. Penerbit Universitas Andalas.
Mulder, Niels. 1999. Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka
Utama
Greeley,
Andrew. 1999. Agama Suatu Teori Sekuler. Jakarta.
Penerbit Erlangga.
Usman, Setiadi. 2011. Pengantar Sosial; Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial:
Teori, Aplikasi dan Pemecahannya.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Rukminto Adi, Isbandi. 2008. Intervensi Komunitas: Pengembangan
Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta. PT. Raja
Garfindo Persada.
Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonsesia.
Jakarta Tunner. Kamus
Sosiologi. Cetakan Pertama. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Sumber Lain:
http://id.wikipedia.org/wiki/agama sebagai
karakter positif#Agen_sosialisasi (diakses tanggal 15 Maret 2015).
http pernikmagazine.wordpress.com/2008/07/15/bagaimana-peranan-agama-dalam-memberikansosialisasidan
komunitas/:// (diakses
12 Maret 2014).
http://kbbi.web.id/internal (diakses
14 Maret 2014)
[1]
Sanderson, Makro Sosiologi: Sebuah
pendekatan Terhadap Realita Sosial. Edisi kedua. Jakarta. PT. RajaGrafindo
Persada, 2003. Hal 518
[2] Elly, M.
Setiadi, dkk. Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial Teori dan Aplikasi dan Pemecahannya. Cetakan
kedua. Jakarta. Kencana Prenada Medua Group. 46-47.
[3] Tunner,
Bryan. Kamus Sosiologi. Cetakan I.
Yogyakarta. Pustaka Belajar. Hal. 471
[4] Bertens. Etika.
Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. 1993. Hal 154-157
Tags : Jurnal Sosiologi