Proposal Penelitian: Modal Sosial dalam Pengembangan Pariwisata Danau Toba
Penelitian
tentang manfaat modal sosial dalam sektor pariwisata sudah banyak dilakukan. Agus Yogi Pradyana (2014) menyatakan
bahwa pemanfaatan modal sosial sangat bermanfaat di dalam proses pengelolaan obyek wisata Pantai Kedungu,
terutama di dalam pemecahan
masalah yang
muncul.
Jaringan atau kerjasama yang
terbentuk
antara Pemerintah
Desa Belalang dengan masyarakat, pihak swasta, dan Pemerintah Provinsi Bali sangat bermanfaat di dalam proses
pengembangan obyek wisata Pantai Kedungu ke depannya, dilihat dari
bantuan-bantuan yang diberikan secara sukarela dalam pengelolaan
dan pelestarian obyek wisata tersebut
Syahriar (2005) menyatakan bahwa masyarakat Desa Colo sudah membentuk sebuah institusi dalam bentuk ormas-ormas pendukung pariwisata dan membentuk kepengurusan induk untuk saling berkoordinasi. Namun, masih minim interaksi antar stakeholder yang berkepentingan sehingga saling menyalahkan atas kewenangan dan tanggung jawab pihak-pihak tersebut sehingga pengembangan pariwisata cenderung lambat sehingga diperlukan modal sosial yang mampu menyatukan masyarakat.
Syahriar (2005) menyatakan bahwa masyarakat Desa Colo sudah membentuk sebuah institusi dalam bentuk ormas-ormas pendukung pariwisata dan membentuk kepengurusan induk untuk saling berkoordinasi. Namun, masih minim interaksi antar stakeholder yang berkepentingan sehingga saling menyalahkan atas kewenangan dan tanggung jawab pihak-pihak tersebut sehingga pengembangan pariwisata cenderung lambat sehingga diperlukan modal sosial yang mampu menyatukan masyarakat.
2.3.Pariwisata
Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung
berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah.
Pariwisata dari segi daya tariknya menurut Fandeli (1995) dapat
dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
a. Daya Tarik Alam. Pariwisata daya tarik alam yaitu wisata yang
dilakukan dengan mengunjungi daerah tujuan wisata yang memiliki keunikan daya
tarik alamnya,
seperti
laut, pesisir pantai, gunung, lembah,
air terjun, hutan
dan objek wisata yang masih
alami.
b. Daya
Tarik Budaya. Pariwisata daya tarik
budaya
merupakan suatu wisata yang dilakukan dengan mengunjungi tempat-tempat yang
memiliki keunikan atau kekhasan budaya.
c.
Daya Tarik Minat Khusus. Pariwisata ini merupakan pariwisata yang dilakukan dengan mengunjungi objek wisata yang
sesuai dengan minat.
Swarbrooke (1998) menyatakan bahwa pada hakekatnya, pengembangan pariwisata harus berintegrasi pada 3 (tiga) dimensi yakni
dimensi sosial, dimensi lingkungan dan dimensi ekonomi. Ketiga hal tersebut
saling tekait satu dengan yang lainnya. Pengembangan pariwisata harus memperhatikan
kelestarian lingkungan, memberi peluang bagi generasi muda untuk memanfaatkan dan mengembangkannya sesuai dengan tatanan sosial yang ada sehingga sesuai dengan kebutuhan wisatawan dan pelaku wisata.
2.4.Sosiologi
Pariwisata
Sosiologi
pariwisata merupakan ilmu yang mempelajari masalah-masalah kepariwisataan dalam
berbagai aspek seperti penerapan prinsip, konsep, hukum, paradigma dan metode
sosiologis di dalam mengkaji masyarakat dan fenomena pariwisata.
Analisis sosiologis terhadap pariwisata berdasarkan alasan :
- Pariwisata telah menjadi aktivitas ekonomi yang dominan dewasa ini
- Pariwisata sangat terkait dengan masalah sosial, ekonomi, politik, keamanan, ketertiban, keramahtamahan, kebudayaan, dan berbagai institusi sosial yang mengaturnya
- Bersifat sangat dinamis sehingga setiap saat memerlukan analisis yang tajam dalam rangka memberikan manfaat bagi masyarakat lokal khususnya
- Adanya proses akulturasi, dominasi, sosialisasi, adopsi, adaprasi, dll dalam kaitan hubungan antarbudaya dan masyarakat
- Pengaruh pariwisata sudah sangat meluas sehingga telah menjadi prime mover dalam perubahan sosial
- Berkembangnya berbagai lembaga terkait pariwisata
Secara sosiologis, John Urry (1990), menyebutkan bahwa pariwisata
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
- Pariwisata adalah aktivitas bersantai atau aktivitas waktu luang. Perjalanan wisata bukanlah sebuah “kewajiban” dan umumnya dilakukan pada saat seseorang bebeas dari pekerjaan yang wajib dilakukan yaitu pada saat mereka cuti atau libur.
- Hubungan-hubungan pariwisata terjadi karena adanya pergerakan manusia. Pergerakan ini terkait dengan adanya dimensi ruang dan waktu.
- Dilihat dari sisi wisatawan, pariwisata adalah aktivitas yang dilakukan pada tempat dan waktu yang “tidak normal”. Tetapi ketidaknormalan ini hanya bersifat sementara dan pelaku mempunyai keinginan yang pasti untuk kembali ke situasi normal atau ke habitat asalnya.
- Tempat dan atraksi yang dinikmati oleh wisatawan adalah tempat dan atau peristiwa yang tidak langsung berhubungan dengan pekerjaan atau penghidupan wisatawan.
- Cukup banyak proporsi dari penduduk masyarakat modern yang terlibat dalam kegiatan pariwisata sehingga pariwisata telah menjadi wahana sosialisasi yang baru.
- Destinasi wisata yang dikunjungi acapkali dipilih berdasarkan khayalan atau fantasi atau karena image destinasi yang bersangkutan. Fantasi dan citra (image) ini tidak hanya terbentuk dari promosi-promosi kepariwisataan tetapi juga melalui kegiataan non-pariwisata seperti karya akademis, pertemuan, dan media massa.
- Perjalanan wisata adalah sesuatu yang bersifat “tidak biasa” (out of the ordinary). Pengalaman yang diharapkan adalah pengalaman yang lain dari biasanya.
2.5.Pengembangan
Pariwisata
Dalam mengembangkan pariwisata baik pengembangan
destinasi, kawasan pariwisata, maupun obyek daya tarik wisata pada umumnya
mengikuti alur atau siklus hidup pariwisata. Adapun tujuannya adalah untuk
menentukan posisi pariwisata yang akan dikembangkan. Tahapan pengembangan
pariwisata (tourism life cycle) mengacu pada pendapat Butler (1980) yang
dikutip oleh Cooper and Jackson (1997 yakni sebagai berikut :
1.
Tahap eksplorasi
(exploration) yang berkaitan dengan discovery yaitu suatu
tempat sebagai potensi wisata baru ditemukan baik oleh wisatawan, pelaku
pariwisata, maupun pemerintah. Biasanya jumlah pengunjung sedikit, wisatawan
tertarik pada daerah yang belum tercemar dan sepi, lokasinya sulit dicapai
namun diminati oleh sejumlah kecil wisatawan yang justru menjadi berminat
karena belum ramai dikunjungi.
2. Tahap keterlibatan
(involvement) yang diikuti oleh kontrol lokal (local control), di mana biasanya oleh masyarakat lokal. Pada
tahapan ini terdapat inisiatif dari masyarakat lokal, obyek wisata mulai
dipromosikan oleh wisatawan, jumlah wisatawan meningkat, dan infrastruktur
mulai dibangun.
3. Tahap pengembangan
(development) dan adanya kontrol lokal (local control)menunjukan
adanya peningkatan jumlah kunjungan wisata secara drastis. Pengawasan oleh
lembaga lokal agak sulit membuahkan hasil, masuknya industri wisata dari luar
dan kepopuleran kawasan wisata menyebabkan kerusakan lingkungan alam dan sosial
budaya sehingga diperlukan adanya campur tangan kontrol penguasa lokal maupun
nasional.
4. Tahap konsolidasi
(consolidation) dengan constitutionalism ditunjukkan oleh
penurunan tingkat pertumbuhan kunjungan wisatawan. Kawasan wisata dipenuhi oleh
berbagai industri pariwisata berupa hiburan dan berbagai macam atraksi wisata.
5.
Tahap kestabilan
(stagnation) dan masih diikuti oleh adanya institutionalism,
dimana jumlah wisatawan tertinggi telah tercapai dan kawasan ini telah mulai
ditinggalkan karena tidak mode lagi, kunjungan ulang dan para pebisnis
memanfaatkan fasilitas yang telah ada. Pada tahapan ini terdapat upaya untuk
menjaga jumlah wisatawan secara intensif dilakukan oleh industri pariwisata dan
kawasan ini kemungkinan besar mengalami masalah besar yang terkait dengan
lingkungan alam maupun sosial budaya.
6. Tahap penurunan
kualitas (decline) hampir semua wisatawan telah mengalihkan
kunjungannya ke daerah tujuan wisata lain. Kawasan ini telah menjadi obyek
wisata kecil yang dikunjungi sehari atau akhir pekan. Beberapa fasilitas
pariwisata telah diubah bentuk dan fungsinya menjadi tujuan lain. Dengan
demikian pada tahap ini diperlukan upaya pemerintah untuk meremajakan kembali (rejuvenate).
7. Tahap peremajaan kembali
(rejuvenate), dimana dalam tahapan ini perlu dilakukan
pertimbangan mengubah pemanfaatan kawasan pariwisata, mencari pasar baru,
membuat saluran pemasaran baru, dan mereposisi atraksi wisata ke bentuk lain.
Oleh sebab itu diperlukan modal baru atau kerjasama antara pemerintah dengan
pihak swasta.
Dari tahapan pengembangan pariwisata
(tourism life cycle) kemudian
dikaitkan dengan tingkat iritasi masyarakat (level
of host irritation). Tingkat iritasi masyarakat (level of host irritation)
yaitu teori yang mengukur interaksi antara wisatawan dan masyarakat lokal.
Dengan mempertimbangkan dampak sosial yang terjadi pada tahapan pengembangan
daerah wisata, Doxey (dalam Ryan, 1991: 136) menyimpulkan, bahwa terjadi
perilaku spesifik pada masyarakat lokal atas pengaruh pariwisata dari waktu ke
waktu.
Untuk mengukur dampak sosial
yang ditimbulkan atas hubungan yang terjadi antara masyarakat lokal dan
wisatawan digunakan teori tingkat iritasi masyarakat (level of host irritation) yang terdiri dari beberapa tahapan,
yaitu :
1.
Tingkat euphoria
(perasaan bangga rohani dan jasmani), di mana pada awal perkembangannya
wisatawan disambut gembira dan pariwisata dianggap sebagai pembawa manfaat
ekonomi bagi masyarakat lokal. Wisatawan juga dipandang tertarik dan menghargai
adat-istiadat, gaya hidup, dan kehidupan sehari-hari masyarakat lokal.
2.
Tingkat apathy (sikap
acuh tak acuh), di mana dalam tahapan ini volume kunjungan wisatawan bertambah
dan pariwisata tersebut tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang baru,
malainkan sesuatu yang biasa saja. Wisatawan tidak lagi menggunakan bahasa
masyarakat lokal dan hubungan yang terjadi lebih formal atau lebih bersifat
hubungan dagang bukan hubungan pribadi. Sikap masyarakat lokal menjadi lebih
apatis terhadap pariwisata.
3.
Tingkat annoyance (sikap
terganggu/ terusik), di mana dalam tahapan ini jika pengembangan pariwisata
tetap berlanjut, berbagai permasalahan bermunculan mulai dari kemacetan,
susahnya memperoleh tempat parkir dan bertambahnya kepadatan. Masyarakat lokal
merasa bahwa mereka mengalami marginalisasi dengan keterlibatannya dalam
pariwisata
4.
Tingkat antagonism/xenophobia
(rasa benci/ pertentangan), apabila pariwisata dan berbagai fasilitas dianggap
sebagai penyebab berbagai permasalahan yang menimpa masyarakat lokal, baik
masalah sosial maupun ekonomi. Pada
tahapan ini kegiatan pariwisata mengalami kemandegan dan telah melampaui daya
dukung.
Menurut Mill (Prayogi, 2011)
bahwa perpindahan dari satu tahapan ke tahapan berikutnya disebabkan oleh tiga
hal, yaitu :
· Jarak, semakin besar jarak
tersebut, baik ekonomi maupun budaya antara masyarakat lokal dan wisatawan,
maka semakin besar akibat sosial yang ditimbulkan dan semakin besar pula
kemungkinan terjadinya pergerakan pada tahapan-tahapan yang ada.
· Kemampuan kawasan menyerap
secara fisik dan kejiwaan pertumbuhan jumlah kunjungan, hal ini terkait dengan
perbandingan jumlah mereka yang datang dan jumlah penduduk, sebuah kota besar
tentunya dapat menyerap lebih banyak wisatawan dibandingkan dengan komunitas
pulau kecil
· Jumlah dan kecepatan
perkembangan pariwisata itu sendiri, semakin cepat dan intensif tingkat
perkembangannya, maka semakin besarlah kecenderungan terjadinya akibat sosial.
Greenwood (1977) melihat
bahwa hubungan antara wisatawan dengan masyarakat lokal menyebabkan terjadinya
proses komersialisasi dari keramahtamahan masyarakat lokal. Pada awalnya wisatawan
dipandang sebagai ‘tamu’dalam pengertian tradisional, yang disambut dengan
keramahtamahan tanpa motif ekonomi. Dengan semakin bertambahnya jumlah
wisatawan, maka hubungan berubah terjadi atas dasar pembayaran, yang tidak lain
daripada proses komersialisasi, di mana masyarakat lokal sudah mulai agresif
terhadap wisatawan, mengarah kepada eksploitasi dalam setiap interaksi, tanpa
mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang.
BABIII
METODE PENELITIAN
3.1.Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Metode deskriptif
merupakan metode yang menggambarkan apa yang dilihat atau dialami oleh
sipeneliti. Sedangkan
jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer
merupakan data yang didapat secara langsung dari sumber-sumber pertama baik
dari individu maupun dari kelompok.
3.2.Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Pangururan,
Kabupaten Samosir dan Kota Parapat karena kedua daerah
tersebut merupakan daerah destinasi pariwisata di povinsi Sumatera Utara.
3.3.Unit Analisis dan Informan
Unit
analisis adalah hal-hal yang diperhitungkan menjadi subjek penelitian
keseluruhan unsur yang menjadi fokus penelitian (Bungin, 2007). Dalam
penelitian ini, yang menjadi unit analisisnya adalah masyarakat Kota Parapat
dan Kabupaten Samosir dan masyarakat pelaku pariwisata (yang bekerja pada
sektor pariwisata).
Informan merupakan subjek yang memahami permasalahan penelitian sebagai pelaku maupun orang yang memahami
permasalahan penelitian (Bungin, 2007). Dalam pemilihan informan
peneliti menggunakan teknik purposive
Sampling untuk menentukan subjek
penelitian. Teknik purposive Sampling digunakan jika dalam pemilihan
informan peneliti menggunakan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Adapun kriteria yang menjadi informan dalam
penelitain ini adalah:
1. Masyarakat
asli Kota Parapat dan Kabupaten Samosir yang telah menetap di Kota Parapat dan
Kabupaten Samosir minimal 5 (lima) tahun.
2. Pedagang
yang berjualan di kawasan objek wisata Danau Toba (Parapat dan Kabupaten
Samosir).
3. Pemilik/pegawai
hotel atau tempat penginapan yang ada di sekitar objek wisata.
4. Pemilik
warung/rumah makan/cafe/restoran yang ada di Kota Parapat dan Kabupaten
Samosir.
5. Pengunjung
atau wisatawan yang dijumpai pada saat penelitian berlangsung.
3.4.Teknik Pengumpulan Data
a.
Wawancara
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah wawancara
tidak terstruktur. Wawancara dilakukan pada informan
yang dianggap mempunyai kapasitas dalam memberikan informasi yang dibutuhkan.
Adapun yang menjadi informan adalah pemangku kepentingan wisata di Kota Parapat
dan Kabupaten Samosir
seperti pengelola hotel, travel, kuliner, pedagang, wisatawan, dan lain-lain
yang relevan dengan topik penelitian.
b.
Observasi
Selain wawancara, peneliti juga menggunakan teknik
observasi partisipatif
pasif di mana peneliti
ikut terjun dan melakukan kegiatan sesuai tema yang menjadi objek penelitian.
Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang lebih akurat. Dimensi yang hendak
diobservasi adalah interaksi dan pelayanan wisata di Kota Parapat dan
Kabupaten Samosir yang berkaitan dengan nilai-nilai modal sosial dan interaksi
pelaku wisata dengan wisatawan.
c.
Dokumentasi
Dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan
data dengan menghimpun dan menganalisis dokomen-dokumen baik dokumen tertulis,
gambar maupun elektronik. Dokumen-dokumen yang dihimpun dipilih sesuai dengan
tujuan dan fokus masalah. Metode dokumentasi digunakan untuk
mendukung hasil wawancara dan observasi yang dilakukan.
3.5.Teknik
Analisis Data
Teknis
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data
kualitatif dengan beberapa tahapan seperti tergambar pada skema berikut :
a. Pengumpulan data
Analisis data yang gambar diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:
Data-data yang diperoleh di lapangan
dicatat atau direkam dalam bentuk naratif, yaitu uraian data yang diperoleh
dari lapangan apa adanya tanpa adanya komentar peneliti yang berbentuk catatan
kecil. Dari catatan deskriptif ini, kemudian dibuat catatan refleksi yaitu
catatan yang berisi komentar, pendapat atau penafsiran peneliti atas fenomena
yang ditemui di lapangan.
b.
Reduksi data
Reduksi data merupakan proses pemilihan,
pemusatan perhatian, pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data
kasar yang muncul dari catatan lapangan. Reduksi data dilakukan terus menerus
selama penelitian dilaksanakan. Reduksi data merupakan wujud analisis yang
menajamkan, mengklarifikasikan, mengarahkan, membuang data yang tidak berkaitan
dengan pokok persoalan. Selanjutnya dibuat ringkasan, pengkodean, penelusuran
tema-tema, membuat catatan kecil yang dirasakan penting pada kejadian seketika
yang dipandang penting berkaitan dengan pokok persoalan.
c.
Penyajian data
Pada tahapan ini disajikan data hasil
temuan di lapangan dalam bentuk teks deskriptif naratif.
d.
Penarikan
kesimpulan dan verifikasi
Penarikan kesimpulan dan verifikasi merupakan upaya
memaknai data yang disajikan dengan mencermati pola-pola keteraturan,
penjelasan, konfigurasi, dan hubungan sebab akibat. Dalam melakukan penarikan
kesimpulan dan verifikasi selalu dilakukan peninjauan terhadap penyajian data
dan catatan di lapangan melalui diskusi tim peneliti.
LAMPIRAN DAFTAR PERTANYAAN
a.
Untuk
pelaku wisata
1. Bagaimana
kepercayaan masyarakat terhadap daerah wisata di Danau Toba?
2. Bagaimana
jaringan terhadap wisatawan?
3. Bagaimana
jaringan dengan tranportasi, hotel, pedagang dan pemerintah di daerah wisata
Danau Toba?
4. Bagaimana
pandangan anda tentang objek wisata Danau Toba saat ini ?
5. Bagaimana
cara yang dilakukan masyarakat dan pemerintah dalam menjaga pesona Danau Toba ?
6. Siapakah
yang mengelola usaha wisata di daerah ini, apakah masyarakat lokal atau
masyarakat luar daerah atau luar negeri ?
7. Dalam
setahun terakhir, wisatawan yang berkunjung ke daerah ini berasal dari daerah
mana, apakah dalam negeri atau luar negeri ?
8. Apa
strategi yang anda gunakan untuk menarik minat wisatawan agar berkunjung ke
daerah ini ?
9. Bagaimana
jaringan/sinergitas/kerjasama yang dibangun antara sesama pelaku wisata,
pemerintah dan wisatawan ?
10. Bagaimana
cara yang dilakukan untuk menjaga kenyamanan dan kepercayaan
pengunjung/wisatawan di daerah ini sehingga merasa nyaman berkunjung ke daerah
ini ?
11. Terkait
dengan nilai-nilai budaya dalam pengelolaan pariwisata, apakah anda menggunakan
nilai-nilai budaya yang ada pada masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan
pariwisata ? Kalau iya, nilai-nilai apa saja ?
- Untuk wisatawan
- Apakah anda sudah sering berkunjung/berwisata ke daerah ini ?
- Bagaimana pandangan anda tentang pengelolaan wisata di daerah ini ?
- Bagaimana pandangan anda tentang fasilitas wisata di daerah ini ?
- Bagaimana pandangan anda tentang pelayanan wisata, terkait dengan keramahtamahan penduduk, kebersihan lingkungan di daerah ini ?
- Apakah anda merasa nyaman ketika berkunjung ke daerah ini ?
- Bagaimana pandangan anda tentang aturan-aturan dalam pengelolaan wisata di daerah ini ?
- Bagaimana pendapat anda tentang strategi dan kreatifitas masyarakat lokal terkait dengan pengelolaan wisata di daerah ini ?
DAFTAR PUSTAKA
Bungin,
Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif.
Jakarta : Prenada Media Group
Lawang, R.M.Z, 2005. Kapital Sosial: Dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar. Jakarta: FISIP UI Press.
Nasution, S. 1996. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung : Tarsito.
Mikelsen,
Britha. 1999. Metode Penelitian Partisipatoris Upaya-Upaya Pemberdayaan.
Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Jurnal :
Coleman, J. 1988. Social Capital in the Creation of Human
Capital.
American Journal of Sociology 94 (Supplement), S95-S120.
Putu Agus Prayogi, Jurnal Perhotelan dan Pariwisata, Agustus 2011, Vol.1
No.1 hal.69 Sekolah Tinggi Pariwisata
Triatma Jaya
Siisiäinen, Martti. 2000. Two
Concepts of Social Capital: Bourdieu vs Putnam. University of Jyvaskyla.
Skripsi :
Syahriar,
Galang Henry. 2005. Modal Sosial Dalam Pengelolaan Dan Pengembangan
Pariwisata Di Obyek Wisata Colo Kabupaten Kudus. Fakultas Ekonomika Dan
Bisnis Universitas Diponegoro Semarang.
Putra, Agus
Yogi Pradyana. 2014. Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengelolaan Objek Wisata
Pantai Kedungu Desa Belalang Kabupaten Tabanan.
Tags : Metopel