Makalah: Agama, Konflik dan Integrasi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Agama Secara Sosiologi
Para
ilmuwan menghadapi banyak kesulitan
dalam menghadapi dan merumuskan agama dengan rapi. Maslaah pokok dalam mencapai
suatu defenisi yang baik ialah dalam menentukan di mana batas-batas gejala itu
harus ditempatkan. Seperti yang dikemukakan oleh Roland Robertson (1970), ada dua jenis utama dalam mendefenisikan
agama: inklusif dan eksklusif.
Defenisi
inklusif merumuskan agama dalam arti seluas mungkin, yang memandangnya
sebagai setiap sistem kepercayaan dan ritual yang diresapi dengan “kesucian”
atau yang diorientasikan kepada “penderitaan manusia yang abadi”. Mereka yang
menyukai pandangan inklusif pada umunya melihat agama bukan saja dari sistem
teistik yang diorganisasikan sekitar konsep tentang kekuatan supernatural,
tetapi juga berbagai sistem kepercayaan nonteistik seperti komunusme,
nasionalisme dan humanisme.
|
Defenisi
eksklusif membatasi istilah agama itu pada sistem-sistem kepercayaan yang
mempostulatkan eksistensi makhluk, kekuasaan, atau kekuatan supernatural.
Sistem-sistem kepercayaan seperti komunisme atau humanisme, karena tidak
mencakup suatu dunia supernatural, secara otomatis dikeluarkan, meskipun
diterima bahwa sistem-sistem kepercayaan nonteistik demikian itu mempunyai
elemen-elemen yang sama dengan sistem-sistem keagamaan.
|
Berikut
ini adalahh contoh-contoh yang baik mengenai defenisi agama yang inklusif.
Suatu
agama ialah suatu sistem kepercayaan yangg disatukan oleh praktek-praktek
bertalian dengan hal-hala yang yang suci, yakni, hal-hal yang dibolehkan dan
dilarang - kepercayaan dan praktek-praktek yang mempersatukan suatu komunitas
moral yang disebt dengan Gereja, semua mereka yang terpaut satu sama lain
(Dukheim, 1965:62, aslniya 1912)
Saya
merumuskan agama sebagai seperangkat bentuk dan tindakan simbolik yang
menghubungkan manusia dengan kondisi akhir eksistensinya (Bellah, 1964:359)
Jadi,
agama dapat dirumuskan sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktek di mana
suatu kelompok manusia berjuang menghadapi masalah-masalah akhir kehidupan
manusia (Yinger, 1970:7)
2.2
Batasan Agama
Agama
dapat dimaknai sebagai suatu sistem kepercayaan dan tingkah laku yang berasal
dari suatu kekuatan yang gaib (Nanang Martono, 2014). Bouquet mendefenisikan
agama sebagai hubungan yang tetap antara diri manusia dengan yang bukan manusia
yang bersifat suci, supernatural, dan berada dengan sendirinya dan mempunyai
kekuasaan absolut yang disebut dengan Tuhan. Nottingham (1954) berpendapat
bahwa agama merupajan gejala yang ada di mana-mana, sehingga sedikit membantu
usaha-usaha kita untuk membuat abtraksi ilmiah. Lebiha lanjut juga ia
mengatakan bahwa agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur
kedalaman makna mengenai keberadaannya dan keberadaan alam semesta.
Sanderson
(1993) menyatakan bahwa agama merupakan suatu ciri kehidupan manusia yang universal, dalam arti bahwa
setiap masyarakat memiliki cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang
memenuhi syarat untuk disebut sebagai agama. Secara sosiologis, konsep agama
terdiri dari berbagai konsep yakni, citra, kepercayaan, simbol serta
nilai-nilai spesifik tempat makhluk manusia menginterpretasikan eksistensi
mereka. Tidak ada batasan yang pasti mengenai agama dalam makna sosiologis.
Satu
hal yang perlu mendapat perhatian adalah sosiologis tidak pernah memberikan
penilaian bahwa agama yang satu lebih baik daripada agama yang lain dan tidak
pernah mencari makna agama mana yang paling benar. Secara agama agama itu
memiliki kedudukan yang sama dan merupakan suatu bentuk kesatuan dengan manusia.
Selain itu, agama merupakan sebuah isu yang berkaitan dengan kepercayaan dan
para sosiolog berurusan dengan hal-hal yyang sifatnya empiris atau hal-hal yang
dapat diamati dan dapat diukur. Sosologi lebih memperlajari peranana agama
dalam mempengaruhi perilaku individu serta kehidupan masyarakat.
2.3 Sifat Agama
Agama merupakan salah satu ciri kehidupan manusia yang universal dalam arti semua
masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuuhi
syarat untuk disebut sebagai agama. Banyak dari apa yang berjudul agama
termasuk dalam superstruktur. Agama yang terdiri dari tipe-tipe, simbol,
kepercayaan dan nilai spesifik dengan mana mahkluk manusia menginterpretasikan
eksistensi mereka. Akan tetapi agama juga mengandung komponen ritual, maka
sebagaian agama tergolong juga dalam struktur sosia.
Perhatian kita harus bersifat ilmiah. Kita ingin
mengetahui agama itu, bagaimana bentuk-bentuknya sepanjanag waktu dan ruang dan
bagaimana agama itu berubah sesuai dengan pengaturan material dan .
Pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut realitas gejala supernatural (apakah Tuhan atau makhluk ataupun kekuatan
supernatural itu ada atau tidak) berada di luar batasan ilmiah.
Tentu saja, banyak orang yang mengemukakan bahwa
suatu pendekatan ilmiah terhadap studi mengenai gejala agama tidak memadai,
jika tidak mungkin secara logika, mereka berpendapat bahwa pendekatan demikian
tidak akan menghasilkan pandangan ke depan yang sahih dan hanya dapat berfungsi
untuk mengubah makna spiritual yang sesungguhnya dari gejala demikian. Akan
tetapi para ilmuwan secara sistematis
telah mempelajarinya.
Integrasi
Pengertian
integrasi adalah proses penyesuaian
unsure-unsur yang berbeda dalam masyarakat sehingga menjadi satu kesatuan.
Unsur-unsur yang berbeda tersebut meliputi perbedaan kedudukan, sosial, ras ,
etnik, agama, bahasa, kebiasaan, system nilai dan norma.
Konsep-Konsep Integrasi
Persoalan
integrasi kelihatannya banyak ditemui pada masyarakat yang sedang berkembang
dan yang baru mencapai kemerdekaannya, terutama bagi masyarakat yang bersifat
majemuk. Integrasi memiliki konsep-konsep, bila integrasi gagal maka boleh
dikatakan eksistensi masyarakat Indonesia akan hilang. Apalagi masyarakat
Indonesia yang plurar ini memang rawan terhadap disintegrasi. Secara populer
orang mengatakan bahwa dalam masayarakat kita yang plural ini membutuhkan
“kerukunan”.
Kerukunan
merupakan suatu kata yang sejuk, romantis dan didambakan, tetapi bila kita
melihatnya dalam kerangka konsep sosiologis, ternyata kerukunan bukanlah suatu
konsep yang sederhana. Kondisi kerukunan seperti apakah yang kita maksudkan?
Berikut adalah defenisi beberapa konsep yang bernuansa “kerukunan”.
- Integration: keutuhan atau persatuan (proses menjadi satu). Kondisi ini memang bisa menghasilkan kerukunan, tetapi konsep ini lebih sering menekankan pada “keutuhannya” daripada “kerukunannya”. Karena itu harus dibedakan antara integrasi nasional (bersatunya pulau-pulau nusantara ke dalam satu negara bangsa Indonesia) dengena integrasi (adanya interaksi yang intensif dan kolaboratif antar warga masyarakat dari berbagai golongan yang berbedaan). Pengertian pertama lebih menekankan pada motivasi politis (kekuasaan) dan seringkali menjurus pada cara yang koersif, yang kedua lebih bersifat sosiologis yang adanya kesepakatan nilai dan fungsional yang setara. Jadi, secara sosiologis kita perlu mengusahakan integrasi yang baik. Dalam kondisi itulah integrasi nasional (secara politis) bisa diperjuangkan dan dipertahankan. Bila pemerintah terlalu sibuk mencari “integrasi nasional” tetapi kondisi integrasi antar golongan terabaikan, kondisi ini tidak akan sehat dan tidak bisa bertahan lama.
- Equibilirium: keadaan yang seimbang dan tidak terjadi kesenjangan yang menimbulkan gejolak. Tetapi konsep ini juga bisa bernuansa pasif. Artinya masyarakat seolah-olah tidak dinamis, anggota masyarakat tidak aktif bahkan tidak saling membantu. Kondisi equibilirium bisa juga berarti juga stalemate, yaitu keadaan ketika semua kelompok tidak saling menyerang. Hal ini bukan karena mereka rukun melainkan sama-sama kuat sehingga sama-sama takut.
- Stability: keadaan yang tenang, mantap dan mapan hampir tidak ada konflik yang mengguncang. Tetapi ini belum tentu menandakan adanya kepuasaan semua pihak belum tentu ada kerukunan, bahkan mungkin laten conflict atau anomosity (rasa tidak senang antarkelompok). Stability sering bernuansa negatif, dalam arti tidak dinamis mempertahankan status-quo. Dalam suatu masyarakat yang stabil biasanya ada kelompok penguasa yang amat kuat dan memaksakan stabilitas tersebut, seperti Indonesia pada Orde Baru.
- The absence of conflict: keadaan nyaris tanpa konflik, tetapi ini biasanya terjadi karena ada kekuatan yang dapat menekan kelompok-kelompok agar tidak berkonflik. Keadaan ini sering bersifat semu dan realistik karena konflik merupakan gejala yang melekat pada semua masyarakat. Konflik bahkan memiliki fungsi penting untuk mengoreksi kondisi yang ada. Kondisi tanpa konflik ini bisa berbahaya karena masyarakat tidak memiliki lembaga penyalur ketidakpuasan. Keadaan ini sering berakhir dengan konflik yang eksplosif.
- Tolerance: sikap menahan diri, bisa menerima keadaan, tidak menyerang kelompok lain. Hal ini memang bisa mengahasilkan kerukunan, tetapi sangat bersifat dangkal dan “minimalis”. Bila yang dipentingkan adalah kemampuan semua pihak manahan diri, maka rasa tidak senang antar budaya (cultural animosity) atau konflik yang tersembunyi (hidden conflict) dan rasa segan untuk bekerja sama bisa saja masih tetap saja. Kerukunan terjadi tidak akan berkembang menjadi lebih kuat.
- Solidarity (kesetiakawanan): kondisi yang lebih positif daripada toleransi. Hal ini menunjukkan adanya sikap atau mau menolong dan bersatu, ada kerukunan, tetapi masih ditandai oleh kesenjangan (ketidaksetaraan) dan eksploitasi secara tersembunyi masih bisa terjadi. Contohnya, pada masa Orde Baru tatkala sering terjadi kesenjangan yang mencolok antar golongan, lalu pemerintah mencanangkan “Hari Kesetiakawanan Nasional”. Dengan mengerahkan golongan yang kuat untuk memberi santunan kepada yang lemah, tetapi struktur yang tidak adil masih tetap saja dipertahankan. Motivasi politisnya adalah untuk mencegah konflik .
- Conformity: kepatuhan warga negara sehingga dapat menimbulkan suasana rukun. Tetapi kondisi ini bernuansa pasif, tidak aktif, tidak kritis, bahkan bisa berbahaya bila semua orang mematuhi segala keputusan penguasa tanpa syarat. Konformitas yang terlalu kuat pada nilai dan norma yang ada bisa menghambat inovasi.
- Peace: kondisi tidak berkelahi atau berperang, bisa bernuansa rukun tetapi juga bernuansa pasif (tidak saling menyerang, tetapi mungkin tidak saling menyayangi atau bekerjasama). Suatu kedamaiaan masih harus diisi lagi dengan tindakan yang lebih proaktif. Orang sering mengkaitkan kedamaian dengan keadilan , orang tidak akan mau berdamai bila belum mendapat keadilan, kecuali dipaksa. Bagi masyarakat kelas atas yang telah menikmati segala-galanya perdamaian adalah kondisi yang paling didambakan, tetapi bagi golongan miskin dan tertindas yang masih harus memperjuangkan kehidupannya terutama melawan ketidakadilan, kata perdamaian sama dengan menerima keadaan.
- Cohesion: kondisi kesatuan yang sangat kuat ada kerjasama atau kekompakan, tetapi ada nuansa fanatik kelompok. Misalnya, Jepang pada masa Perang Dunia II. Dalam masyarakat modern yang komplek dan heterogen, konsep ini nampaknya kurang realistik bila bersifat terlalu eksklusif.
- Compromise: keadaan saling memberi konsensi (mengalah) untuk menghindari terjadinya konflik. Pada prinsipnya pendekatan ini tidak bersifat progresif (maju) tetapi lebih bersifat mundur selangkah. (1=1/2 + ½) dengan kata lain setiap kelompok rela memperoleh setengah. Keadaan ini bisa berbahaya jika yang dikorbankan adalah hal-hal yang merupakan prinsip (cita-cita) dasar.
- Harmony: hampir mirip dengan equibilirium, seimbang, kondisi yang memperlihatkan adanya perbedaan tetapi memiliki nuansa serasi, atau kecocokan dan saling mengisi. Ini dapat dikatakan sebagai kondisi ideal.
- Solidity : konsep ini jarang dipakai, sebenarnya ini menujukkan kualitas kekenyalan aau kerukunan yang memiliki daya tahan dan daya tangkal serta tidak mudah digoyang atau diprovokasi pihak luar.
- Sinergy: bila kompromi adalah masing-masing pihak yang mengorbankan apa yang ada demi mencapai kesepakatan, maka sinergi adalah bersepakat serta bersatu dalam perbedaan. Dalam konsep sinergi, semua pihak yang berlwan menggabungkan kekuatan masing-masing untuk menghasilkan kekuatan yang berlipat ganda (1+1 yang bukan hanya menjadi 2 tetapi bisa menjadi 3, 4, bahkan lebih). Sinergi tidak bersifat “menang-kalah” atau zero sum game (bila satu pihak untung, pihak lain pasti rugi) tetapi lebih bersifat win-win solution. Ini memang tidak mudah, tetapi bukan tidak mungkin. Yang penting adalah kreativitas untuk mengubah pertentangan menjadi kerjasama yang produktif. Konsep ini cukup ideal, tetapi untuk diterapkan bagi masyarakat Indonesia masih memerelukan suatu perubahan paradigma berpikir.
Dari
uraian tentang berbagai defenisi kerukunan tersebut, maka bangsa Indonesia
harus bersepakat bahwa arti kerukunan yang diinginkan dan diperjuangkan
bersama. Golongan kaya yang sudah mapan pasti menginginkan suasana rukun yang
yang bernuansa bebas konflik agar dapat menikmati kekayaan dengan tenang.
Tetapi tidak demikian untuk kaum yang teraniaya seperti orang miskin, buruh,
petani, pedagang kaki lima, dan sebagainya, yang masih menderita karena
ketidakadilan.
Defenisi
pertama yang dikemukakan di atas sangat terkenal dan telah telah berulangkali
oleh banyak sosiologi. Bagi Durkheim, karakteristik agama yang penting ialah
bagi agama yang penting bahwa agama itu diorientasikan kepada sesuatu yang
dirumuskan oleh manusia suci/sakti, yakni, objek referensi yang dihargai dan
malah dahsyat. Dunia ini berlawanan secara tajam dengan dunia profan, atau
dunia yang biasa, eksistensi sehari-hari.
Defensisi
kedua dan ketiga yang dikutip di atas menekanakan bahwa agama itu, di atas
segalanya, diorientasikan kepada “penderitaan akhir” umat manusia. Apa saja
keprihatinan itu? Menurut Yinger (1970), yang defenisinya sendiri membuat
keprihatinan itu sebagai esensi daripada agama, bahwa keprihatinan itu
berkaitan dengan kenyataaan adanya kematian, perlunya mengatasi frustasi,
penderitaan, dan tragedi, perlunya mengendalikan permusuhan dan egosentris, dan
perlunya “mengurusi kekuatan yang menekan kita, yang membahayakan kehidupan
kita, kesehatan kita, dan kelanjutan hidup dan kelancaran bekerja kelompok di
mana kita hidup, kekuatan-kekuatan yang oleh pengetahuan empiris kita tidak
dapat menanganinya secara memadai” (Yinger, 1970:6)
Syarat
terjadinya integrasi sosial
anggota-anggota
masyarakat merasa bahwa mereka berhasil saling mengisi kebutuhan-
kebutuhan
mereka. Masyarakat berhasil menciptakan kesepakatan bersama mengenai
norma dan nilai-nilai yang dilestarikan
dan dijadikan pedoman dalam berinteraksi antara satu dengan lainnya, termasuk
menyepakati hal-hal yang dilarang menurut kebudayaannya. Norma-norma dan
nilai-nilai sosial itu berlaku cukup lama, tidak mudah berubah, dan dijalankan
konsisten oleh seluruh anggota masyarakat.
Cepat Lambatnya integrasi sosial dipengaruhi
factor-faktor sebagai berikut :
Homogenitas kelompok
Semakin
homogen(satu suku bangsa) suatu kelompok atau masyarakat, semakin mudah pula
proses integrasi antara anggota masyarakat tersebut.
Besar kecilnya kelompok
Dalam kelompok
kecil, hubungan sosial antaraanggotanya terjadi semakin intensif sehingga
komunikasi dan tukar menukar budaya semakin cepat. Sebaliknya, dalam kelompok
besar integrasi semakin sulit dicapai
Mobilitas geografis
Semakin
sering anggota masyarakat datang dan pergi, akan semakin sulit proses integrasi
dicapai. Sebaliknya, mobilitasnya rendah,integrasi mudah dicapai
Efektivitas komunikasi
Semakin
efektifitas komunikasi berlangsung, semakin cepat integrasi dicapai. Sebaliknya
semakin tidak efektif komunikasi semakin lambat dan sulit integrasi dicapai.
Faktor-faktor
pendorong integrasi
Taraf
terwujudnya integrasi sosial
·
Toleransi
terhadap kelompok-kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda
·
Kesempatan
yang seimbang dalam ekonomi bagi berbagai golongan masyarakat dengan latar belakang kebudyaan yang
berbeda
·
Sikap
saling menghargai orang lain dan kebudayaannya.
·
Sikap
terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat
·
Persamaan
unsure-unsur kebudayaan
·
Perkawinan
campuran (amalgamasi)
·
Adanya
musuh bersama dari luar
·
Paksaan
suatu kelompok sosial terhadap kelompok lain
·
Saling
ketergantunagn bebagai kelompok sosial di bidang ekonomi
·
Cross-sutting
affliations
(pertalian seseorang sebagai anggota beberapa kelompok yang berhubungan
saling menyilang. Cross-cutting loyalities (kesetian seseorang
terhadap beberapa kelompok yang berhubungan saling menyilang.
|
Taraf
terwujudnya integrasi sosial
·
taraf
kooperasi terjadila masing-masing pihaki berusaha mengatasi perbedaan dan
mengakomodasi keinginan, harapan atau kebutuhan yang sama.
|
Bentuk-bentuk
integrasi sosial
1.
Integrasi normatif, (Paulus Wiroutomo, 2012) terjadi
akibat adanya norma-norma yang berlaku di masyarakat. Contoh bhinneka tunggal
ika menjadi sebuah norma yang berfungsi untuk mengintegrasikan perbedaan yang
ada dalam masyarakat. Integrasi normatif terjadi karena adanya kesepakatan
nilai, norma dan nilai-nilai bersama atau adanya rasa solidaritas. Integrasi
normatif biasanya memiliki kesamaan dengan sifat-sifat solidaritas mekanik yang
diungkapkan oleh Durkheim.
Karenanya, untuk mengidentifikasi
seberapa besar derajat integrasi normatif dalam masyarakat bisa diajukan
pertanyaan-pertnyaan dasar berikut:
Apakah
masih ada nilai-nilai dasar yang disepakati bersama? Seberapa besar
masyarakat itu masih menyepakati nilai-nilai dasar tersebut?
Apakah
masih terdapat norma-norma bersama?
Apakah
ada rasa identitias yang sama?
Seberapa kuat?
Apakah
ada cita-cita yang sama? Apakah masih diperjuangkan?
Apakah
ada toleransi dan solidaritas antar daerah dan golongan?
|
Apabila
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut “positif”, maka masyarakat tersebut
memiliki integrasi yang kuat. Karena integrasi normatif banyak menyangkut
unsur-unsur budaya, hal ini sering disebut sebagai integrasi budaya
2.
Integrasi fungsional, terbentuk karena ada fungsi-fungsi
tertentu dalam masyarakat. Misalnya suku bugis yang suka melaut difungsikan
sebagai penyedia hasil laut.
Integrasi fungsional didasarkan pada
kerangka berpikir perspektif fungsional yang melihat masyarakat sebagai suatu
sistem yang terintegrasi antar unsur-unsurnya. Ada dua pertanyaan dasar dari
integrasi fungsional?
Apa
manfaat atau fungsi integrasi nasional bagi masyarakat?
Apakah
ada ketergantungan fungsional yang relatif seimbang antar unsur (kelompok
atau daerah)?
|
Pertanyaan
pertama lebih bersifat vertikal sebab mencakup hubungan antar warga masyarakat
dengan negara. Apakah ada usaha pemerintah untuk mempersatukan rakyatnya secara
politis ke dalam naungan kesatuan benar-benar memang menguntungkan atau
menghasilkan kemakmuran dan keamanan bagi rakyat, maka integrasi tersebut dapat
dikatakan “fungsional”.
Pertanyaan
keduapada pola hubungan horizontal yaitu antar warga atau kelompok dalam
masyarakat secara individu, kelompok golongan dalam masyarakat.
3.
Integrasi koersif, terjadi bukan sebagai hasil dari
kesepakatan normatif maupun ketergantungan fungsional antar unsur-unsur dalam
masyarakat, tetapi merupakan hasil kekuatan yang sanggup mengikat individu atau
unsur-unsur pakasaan dalam masyarakat. Tetapi merupakan hasil kekuatan yang
mengikat individu-individu atau unsur-unsur dalam masyarakat sacara paksa.
Pertanyaan mendasar untuuk melihatt kekuatan integrasi koersif adalah sebagai
berikut:
Apakah
ada figur atau kelompok yang memiliki kekuatan untuk mengintegrasikan?
Sejauhmana
kekuatan itu diimbangi oleh kekuatan-kekuatan lainnya?
Apakah
pemisahan dan pembagian kekuasaan efektif dala mengintegrasikan bangsa?
|
Terbentuk berdasarkan kekuasaan yang
dimiliki oleh penguasa. Contoh perusuh yang berhenti mengacau karena polisi
menembakkan gas air mata ke udara.
4.
Integrasi keluarga, terjadi apabila anggota keluarga
sesuai dengan kedudukannya melaksanakan peranannya.
5.
Integrasi kekerabatan, terbentuk melalui hubungan darah
dan perkawinan memiliki nilai-nilai, norma-norma, kedudukan serta peranan
sosial yang diakui dan ditaati bersama oleh seluuh anggota kekerabatan.
6.
Integrasi asosiasi (perkumpulan)dilandasi oleh adanya
kesamaan kepentingan atau kesamaan minat, tujuan, kepentingan dan kegemaran.
Apabila ketercapaian terdekati, maka intergrasi tercapai.
7.
Integrasi bangsa. Contoh kerusahan anti cina di
jakarta, solo, medan,konflik antar etnis dayak dan madura di kalimantan,
konflik agama di maluku, gerakan-gerakan separatism di aceh dan papua,
merebaknya tuntutan terhadap orede baru.
Konflik
Pengertian Konflik
Sebagai
serapan dari bahasa Inggrisconflict,. John M. Echols dan Hassan Shadily (1990:
138)mengartikan konflik sebagai percekcokan, perselisihan, pertentangan.Conflict sendiri
berasal
dari kata kerja Latinconfigere yang berarti saling
memukul (http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik). Selain
itu, juga berarti: A state
of disaggreement or argument between opposing groups or opposing ideas or
principles, war or battle, struggleto be in opposition;disagree.(Longman
Dictionary of Contemporary English, 1987: 212). Konflik dalam definisi ini diartikan sebagai
ketidakpahaman atau ketidaksepakatan antara kelompok atau gagasan-gagasan yang
berlawanan.Ia juga bisa berarti perang, atau upaya berada dalam pihak yang
bersebrangan. Atau dengan kata lain, ketidaksetujuan antara beberapa pihak.
Kalau
dikaitkan dengan istilah sosial, maka konflik sosial bisa diartikan sebagai
suatu pertentangan antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam
kehidupan (http://etno06.wordpress.com/2010/01/10/agama-dan-konflik-sosial/. Dengan kata lain interaksi atau proses sosial antara dua orang
atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan
pihak lain dengan menghancurkannya atau setidaknya membuatnya tidak berdaya.
Otomar
J. Bartos dalam (Novri Susan: 63), mengartikan konflik sebagai situasi dimana
para aktor menggunakan perilaku konflik melawan satu sama lain dalam
menyelesaikan tujuan yang berseberangan atau mengekspresikan naluri permusuhan.
Adapun definisi klasik mengenai konflik dikemukakan Louis Coser, berikut ini:
“a struggle over values and claims to secure status,
power, and resources, a struggle in which the main aims of opponents are to
neutralize, injure, or eliminate rivals”
Berdasarkan definisi ini,(Ihsan
Ali Fauzi, dkk. “Pola-Pola Konflik Keagamaan di Indonesia (1990-2008), mengartikan konflik keagamaan sebagai, “perseteruan
menyangkut nilai, klaim dan identitas yang melibatkan isu-isu keagamaan atau
isu-isu yang dibingkai dalam slogan atau ungkapan keagamaan” Dari
ragam definisi tersebut bisa disimpulkan bahwa konflik merupakan pertentangan
atau perselisihan yang bisa mengambil bentuk perselisihan atau pertentangan ide maupun fisik. Atau dengan kata lain, adanya interaksi yang terjadi namun dipisahkan oleh
perbedaan tujuan sehingga melahirkan ketidaksetujuan, kontroversi atau bahkan
pertentangan.
Bentuk-Bentuk
konflik
Lewis A. Coser
1. Konflik realistis berasal dari
kekecewaan individu atau kelompok terhadap system dan tuntan yang terdapat
dalam hubungan sosial. Contoh para karyawan melakukan pemogokan terhadap
manajemen perusahaan
2. Konflik non realistis berasal dari
kebuthan pihak-pihak tertentu untuk meredakan ketegangan. Contoh balas dendam
dengan menggunakan ilmu gaib.
3. Konflik in-group yaitu konflik yang terjadi dalam kelompok. Contoh konflik
antaranggota geng
4. Konflik out-group yaitu konflik yang terjadi antara suatu kelompok dengan
kelompok lain. Contoh konflik masyarakat madura dengan masyarakat Dayak
Dahrendorf
1. Konflik peranan sosial. Contoh suami
dengan isteri dam mendapatkan penghasilan
2. Konflik diantara kelompok-kelompok sosial
3. Konflik diantara kelompok yang
terorganisir dan tidak terorganisir
4. Konflik diantara satuan nasional.
Contoh konflik antara partai, negara atau organisasi internasional
Soerjono
Soekanto
1. Konflik pribadi terjadi karena perbedaan
pandangan dsb
2. Konflik rasial timbul karena
perbedaan ciri fisik, kepentingan dan kebudayaan.contoh konflik orang kulit
hitam dengan kulit putih
3. Konflik antar kelas sosial timbul
karena perbedaan kepentingan. Contoh konflik buruh dengan majikan
4. Konflik politikterjadi akibat
perbedaan kepentingan politis
5. Konflik bersifat internasional
terjadi karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh terhadap
kedaulatan rakyat. Contoh konfik antarnegara mengenai batas wilayah.
Faktor Faktor Penyebab Konflik
Sebagai
makhluk sosial, manusia tidak bisa steril dari interaksi, baik sosial, politik,
budaya, agama dan lain-lain. Perbedaan ciri-ciri bawaan individu dalam suatu interaksi
seperti ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain
sebagainya menjadikan konflik sebagai situasi wajar dalam setiap masyarakat.
Dengan kata lain, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya
masyarakat itu sendiri.Dalam ranah interaksi tersebut, seperti disebutkan
(Novri Susan,46), konflik kepentingan dan penegasan identitas akan muncul dalam
skala berbeda seperti konflik antar-orang (interpersonal conflict), konflik
antar-kelompok (intergroup conflict), konflik antar kelompok dengan
negara (vertical conflict), dan
konflik antar negara (interstate conflict).(Konflik, terutama yang
mengambil bentuk kekerasan telah menjadi kajian banyak psikolog terutama dalam
kaitannya dengan aspek-aspek internal manusia. Sigmund Freud misalnya memandang
konflik atau kekerasan sebagai wujud
frustasi dari suatu dorongan libidinal yang bersifat dasariyah. Dalam kaitan
ini, sejarah membuktikan manusia telah menjadi pemangsa manusia lainnya
(Muchtar Lubis, 1988: 45).
George
Simmel, salah seorang bapak sosiologi konflik, seperti dicatat Turner, melihat
sosiologi pada tiga perspektif yaitu relasionisme, sosiasi dan bentuk-bentuk
sosial. Relasionisme memandang bahwa unsur-unsur sosial hanya bisa dipahami
dalam kaitannya dengan totalitas dan bukan dalam isolasi.Sementara
bentuk-bentuk sosial merujuk pada keberadaan lembaga sosial seperti keluarga,
bentuk pertukaran sosial, jaringan dan lain-lain. Adapun sosiasi merupakan
proses yang menghubungkan bagian-bagian menjadi suatu system, yang menghubungkan
antar-individu menjadi masyarakat.
Dewasa ini, di dunia ketiga, seperti ditulis Uno
Steinbach, dalam (Hasymi
Ali, 1988: 49), konflik
bisa disebabkan oleh adanya perpecahan bangsa, perkembangan yang timpang,
bentrokan kultural serta gerakan-gerakan pembebasan Ketegangan-ketegangan pada
level kebudayaan misalnya, sangat terkait dengan pembangunan. Kebudayaan dan
agama merupakan faktor-faktor unik mengingat keduanya merupakan unsur penggerak (mobilizing
elementas). Meskipun demikian, dalam pandangan Sean Macbride, sebagaimana dicatat (Mochtar Lubis, 1988: 29), konflik yang terjadi lebih banyak disebabkan oleh
ketidakadilan, sehingga mestinya para penguasa, pemuka agama, pemimpin politik
menyadari bahwa prasyarat kedamaian yaitu keadilan. Dengan
kata lain, struktur yang merampas hak-hak dan martabat manusia akan menghambat
terciptanya keadilan
Dalam
kaitan dengan agama, George Ritzer memandang bahwa terjadinya perubahan sosial,
yang tentunya diikuti oleh ragam konflik, sebagai akibat adanya revolusi politik, revolusi industri
atau bahkan urbanisasi mempunyai pengaruh signifikan terhadap pola
keberagamaan.Relevansi yang kuat ini melahirkan banyak sosiolog dan
karyanyadengan basis agama yang kuatdan sekaligus memperkenalkan sosiolog.
Sebutlah misalnya Durkheim, Weber serta Marx (George Ritzer,1988: 8).
Konflik
secara laten ada dalam diri manusia. Potensi konflik ini bisa teraktualisasi
kalau keliru memahami ajaran agama.Dan bisa juga dipercepat oleh lingkungan
baik ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain.Mencermati hal ini, konflik sosial
dalam masyarakat menjadi keniscayaan yang bisa disebabkan karena beberapa
faktorseperti (http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik,
26 Nov 2010, 19:02):
Pertama,
perbedaan pendirian atau perasaan individu. Dalam
perspektif lebih luas, seiring dengan perubahan sebagai akibat globalisasi,
perasaan dan bahkan pendirian individu, kelompok atau bangsa bisa berubah dan
berbeda dalam memberikan respon terhadap setiap perubahan yang ada. Rupanya,
pengakuan Donald Michael seperti dikutip (Ziauddin Zardar, 1988:15), bahwa
pengendalian kehidupan dunia bisa dilakukan dengan semakin banyaknya informasi
dan pengetahuan terbantahkan menunjukkan kebenaran. Faktanya semakin banyak
informasi semakin disadari segala sesuatu tidak dapat dikendalikan. Globalisasi
komunikasi informasi memberi pengaruh luar biasa kepada cara pandang, perasaan
bahkan keputusan-keputusan seseorang.
Kedua,
Perbedaan latar belakang kebudayaan
sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Perbedaan nilai-nilai
kebudayaan juga berpotensi menimbulkan konflik. Edward C. Stewart, 1985: 49, mencontohkan salah
satu nilai budaya Amerika yang to the point, sementara tradisi Jepang
sedikit berbeda Atau antara konsep tabe’
Bugis-Makassar dengan budaya kebanyakan orang Eropa yang kelihatannya tidak
terlalu memperhatikan pola interaksi model tersebut.Perbedaan kebudayaan dan
nilai-nilai kehidupan semakin kelihatan ketika interaksi masyarakat dunia
semakin mudah.
Ketiga, Perbedaan
kepentingan antara individu atau kelompok, baik menyangkut politik, ekonomi,
sosial, budaya atau agama, juga berpotensi konflik.Keempat,
perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Dengan demikian, secara lebih spesifik, konflik sosial berbau agama di
Indonesia disebabkan oleh:
Pertama, adanya
klaim kebenaran. Pluralitas manusia menyebabkan kebenaran diinterpretasi secara
berbeda dan dipahami secara absolut. Pemahaman seperti itu akan berpotensi
konflik manakala dijadikan landas gerak dalam dakwah.Absolutisme,
eksklusivisme, fanatisme, ekstremisme dan agresivisme adalah penyakit-penyakit
yang biasanya menghinggapi aktivis gerakan keagamaan. Absolutisme adalah
kesombongan intelektual, eksklusivisme adalah kesombongan sosial, fanatisme
adalah kesombongan emosional, ekstremisme adalah berlebih-lebihan dalam
bersikap dan agresivisme adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan
fisik. Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk menuju
keselamatan yang dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain menuju
keselamatan tersebut. Ini akan memunculkan sentimen agama, sehingga benturan
pun sulit dihindari. Fenomena yang seperti inilah yang dapat melahirkan konflik
antar agama. Misalnya, peristiwa Perang Salib antara umat Islam dan umat
Kristen. Tragedi ini sangat kuat muatan agamanya,dari pada politisnya.
Kedua,
wilayah
agama dan suku semakin kabur. Kasus ini bisa dilihat pada mantan Menteri Masa
Habibi, AM. Saefuddin, ketika “menuduh” Megawati pindah agama, hanya dengan
melihat kehadiran Mega dalam suatu tradisi keagamaan suku tertentu.Ketiga, dokrin
jihad yang dipahami secara sempit.Keempat, kurangnya sikap toleransi
dalam beragama.Kelima, minimnya pemahaman terhadap ideologi pluralisme.
Azyumardi
Azra dalam (Idris Thaha, 1999:
91)memandang
bahwa kemunculan gerakan-gerakan dengan mengambil pola konflik kekerasan ada
dalam tradisi Islam. Penyebabnya kompleks, terkait satu sama lain, seperti
dokrinal, politis, sosial, ekonomi, dan lain-lain. Namun demikian,lebih
disebabkan oleh keragaman respon terhadap Barat dan Eropa. Respon melihat Barat
mendorong upaya pembaharuan dengan modernisme dan reformisme. Respon lain,
kelompok ektrem, radikal, Barat penyebab kemunduran muslim. Tidak hanya
menjajah tetapi merusak tatanan sistem budaya, sosial, ekonomi, intelektual,
merusak institusi pendidikan Islam. Padahal sejatinya banyak institusi yang
diperkenalkan Barat lemah, tidak kokoh..Konflik terutama yang mengambilbentuk
kekerasan rupanya tidak berdiri sendiri.Ia selalu terkait satu dengan yang
lain. Memahami sebab, motif dan sasaran konflik setidaknya bisa membantu
mendisain solusinya.
Upaya
Mengatasi Konflik
1. Konsiliasi
2. Arbitrasi (perwasitan)
3. Mediasi
4. Koersif
Akibat/dampak
konflik
1. Positif (konstruktif)
Bertambah
solidaritas kelompok
Muncul
pribadi-pribadi yang kuat
Muncul
kompromi
Muncul
pranata sosial
2. Negative (destruktif)
Retaknya
persatuan kelompok
Hancurnya
harta benda
Berubahnya
sikap dan kepribadian individu
Munculnya
dominasi kelompok yang menang
Timbulnya
anarkisme.
Agama Dan Konflik
Ada beberapa konflik yang bersumber dari agama mulai dari
perbedaan doktrin dan sikap mental, perbedaan suku dan ras umat beragama,
perbedaan tingkat kebudayaan, masalah mayoritas dan minoritas pemeluk agama.
Perbedaan
doktrin dan sikap mental
Semua pihak umat beragama yang
sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan
doktrin yang menjadi penyebab dari konflik agama. sadar atau tidak, setiap
pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran
agama lawan, memberikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam
skala penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada
agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan.
Agama Islam dan Kristen di
Indonesia, merupakan agama samawi (revealed religion), yang meyakini terbentuk
dari wahyu Ilahi Karena itu memiliki rasa superior, sebagai agama yang berasal
dari Tuhan. Di beberapa tempat terjadinya kerusuhan kelompok masyarakat Islam
dari aliran sunni atau syiah. Bagi golongan Sunni, memandang Islam dalam keterkaitan
dengan keanggotaan dalam suatu umat, dengan demikian Islam adalah juga hukum
dan politik di samping agama. Islam sebagai hubungan pribadi lebih dalam artian
pemberlakuan hukum dan oleh sebab itu hubungan pribadi itu tidak boleh
mengurangi solidaritas umat, sebagai masyarakat terbaik di hadapan Allah dan
mereka masih berpikir tentang pembentukan negara dan masyarakat Islam di
Indonesia. Kelompok ini begitu agresif, kurang toleran dan terkadang fanatik
dan malah menganut garis keras.
Sikap mental keagamaan , bahwa
ajaran agama pada umumnya membentuk sikap-sikap yang baik seperti persaudaraan,
cinta kasih, kesatriaan, dll yang membantu ketentraman dan keamanan masyarakat.
Konflik - konflik antar umat beragama juga disebabkan oleh padangan sikap
mental yang negaif seperti kesombongan religius, prasangka, dan intoleransi.
Kesombongan religius
Kesombongan religius bisa
dikatakan kesombongan kayal yang melahirkan sikap memandang rendah (menghina)
pemeluk agama lain. Kesombongan religius ini memandang bahwa agamnya memiliki
ajaran yang paling benar dan merasa lebih tinggi daripada semua pemeluk agama
yang lain. Dalam asap kesombongannya mereka merasa tahu lebih tepat mengenai
rahasia dunia akhirat dan memastikan diri akan masuk surga, sedangkan penganut
yang agama yang lain akan masuk neraka.
Prasangka
Kesombongan kayal memandang
sikap rendah pemeluk agama lain. Kesombongan tersebut memandang golongan agama
lain serba bodoh dan serba salah, baik ajarannya, ibadatnya, maupun tingkah
lakunya di dalam masyarakat, bahkan sampai pada hal-hal yang sepele seperti
pakaian dan roman muka, cara berpikir dan berbicara. Keseluruhan kompleks
kejiwaan jenis itu disebut juga dengan
istilah prasangka. Karena setiap golongannya agama mempunyai sikap yang
sedemikian itu, maka di dalam suatu masyarakat (negara) di mana
ada banyak agama, terbentuk suatu supra struktur kayal yang dikuasai oleh
sikap-sikap sombong, penghinaan melawan penghinaan, prasangka lawan prasangka,
kesemuanya seperti bangunan-bangunan kosong yang didirikan atas landasan
emosional.
Intoleransi
Sikap intoleransi juga memicu
munculnya konflik ditataran umat beragama karena, sikap intoleransi memiliki
sikap fanatisme. Hal ini sering terjadi dalam masyarakat dengan agama
heterogen, di mana kelompok golongan luar atau out-group menjadi korban. Seorang
fanatikus yang tertutup dalam dunia kecilnya sendiri tidak dapat melihat
kebenaran eksistensial ini bahwa manusia - juga beragama
wahyu-tidak pernah memiliki kebenaran selengkapnya dari apa pun juga yang ditangkapnya dengan
otak, apalagi mengenai kebenaran supra-empiris (masalah iman). Baginya adalah
sulit untuk menyadari bahwa pemeluk agama lain pun memiliki kebenaran walaupun tidak
lengkap (hanya sebagaian)
a.
Perbedaan suku dan
ras pemeluk agama
Tidak dapat dipungkiri bahwa
perbedaan ras dan agama memperlebar jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan
suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk
menimbulkan perpecahan antar kelompok dalam masyarakat. Contoh di wilayah
Indonesia, antara Suku Aceh dan Suku Batak di Sumatera Utara. Suku Aceh yang
beragama Islam dan Suku Batak yang beragama Kristen; kedua suku itu hampir
selalu hidup dalam ketegangan.
Perbedaan tingkat kebudayaan
Agama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia.
Kenyataan membuktikan perbedaan budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama.
Secara sederhana dapat dibedakan dua kategori budaya dalam masyarakat, yakni
budaya tradisional dan budaya modern.
Tempat-tempat terjadinya
konflik antar kelompok masyarakat agama Islam - Kristen beberapa waktu yang
lalu, nampak perbedaan antara dua kelompok yang konflik itu. Kelompok
masyarakat setempat memiliki budaya yang sederhana atau tradisional: sedangkan
kaum pendatang memiliki budaya yang lebih maju atau modern. Karena itu bentuk
rumah gereja lebih berwajah budaya Barat yang mewah.
Perbedaan budaya dalam kelompok
masyarakat yang berbeda agama di suatu tempat atau daerah ternyata sebagai
faktor pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok
agama di Indonesia.
b.
Masalah mayoritas
dan minoritas golongan agama
Fenomena konflik mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam
masyarakat agama pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan
minoritas golongan agama. Di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang
mengamuk adalah beragama. Islam sebagai
kelompok mayoritas; sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami
kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang minoritas di Indonesia.
Sehingga nampak kelompok Islam yang mayoritas merasa berkuasa atas daerah yang
didiami lebih dari kelompok minoritas yakni orang Kristen. Karena itu, di
beberapa tempat orang Kristen sebagai kelompok minoritas sering mengalami
kerugian fisik, seperti: pengrusakan dan pembakaran gedung-gedung ibadah.
Agama Dan
Konflik Sosial
1. Pola-Pola
Konflik Keagamaan
Pola
konflik keagamaan dimaksud didasarkan pada kajian yang meliputi: jenis konflik,
tingkat atau frekuensi konflik, perkembangan dan persebaran konflik, isu-isu
penyebab konflik, pelaku dan dampak yang diakibatkan.
Contoh Konflik Maluku, Konflik Agama
Konfilk di Maluku terjadi pada 19 Januari
1999. Paling sedikit lima ribu orang menjadi korban dan ribuan lainnya
luka-luka. Kerugian harta benda sangat besar. Konflik yang awalnya hanya
terjadi di Kota Ambon , ibu kota provinsi Maluku dengan kepulauan maluku
lainnya dan provinsi Maluku Utara. Pengungsi diperkirakan sepuluh ribu.
Dampak pengungsian dirasakan hingga Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Utara bahkan Nusa Tenggara Timur dan Papua.
|
2. Isu-Isu
Konflik Keagamaan
Berdasarkan
kajian Ihsan Ali-Fauzi dkk, isu-isu keagamaan yang menyebabkan konflik
keagamaan dengan Indonesia sebagai contoh kasus, dalam kurun waktu 1990-2008,
terdiri dari 6 kategori. Pertama,
isu moral, seperti isu-isu perjudian, minuman keras (miras), narkoba, perbuatan
asusila, prostitusi, pornografi/pornoaksi.Isu-isu moral lainnya seperti
antikorupsi juga dimasukkan ke dalam isu keagamaan selama isu tersebut
melibatkan kelompok keagamaan dan/atau dibingkai oleh para aktor yang terlibat
dalam slogan atau ekspresi keagamaan.
Kedua, isu
sektarian, yaitu isu-isu yang melibatkan perseteruan terkait
interpretasi atau pemahaman ajaran dalam suatu komunitas agama maupun status
kepemimpinan dalam suatu kelompok keagamaan. Dalam Islam, kelompok Ahmadiyah,
Lia-Eden dan Al Qiyadah Al Islamiyah adalah di antara kelompok-kelompok
keagamaan yang kerap memicu berbagai insiden protes maupun kekerasan, baik yang
dilakukan oleh kelompok keagamaan maupun warga masyarakat secara umum.
Sedangkan dalam komunitas Kristen, konflik kepemimpinan gereja HKBP (Huria
Kristen Batak Protestan) menjadi contoh yang mewakili isu sektarian ini.
Ketiga, isu
komunal, yaitu isu-isu yang melibatkan perseteruan antarkomunitas
agama, seperti konflik Muslim-Kristen, maupun perseteruan antara kelompok agama
dengan kelompok masyarakat lainnya yang tidak selalu bisa diidentifikasi
berasal dari kelompok agama tertentu.Isu seperti penodaan agama, seperti dalam
kasus karikatur tentang Nabi Muhammad, dimasukkan dalam kategori isu komunal
ini. Perlu ditegaskan: Perseteruan atau bentrok menyangkut suatu isu keagamaan
- sepanjang kedua belah pihak yang terlibat tidak dapat diidentifikasi berasal
atau mewakili komunitas keagamaan yang sama juga dimasukkan dalam isu ini. Jika
kedua belah pihak pelaku dapat diidentifikasi berasal dari komunitas agama yang
sama, maka konflik semacam itu akan dimasukkan dalam kategori isu sektarian.
Keempat, isu
terorisme, yaitu isu yang terkait dengan aksi-aksi serangan teror
dengan sasaran kelompok keagamaan atau hak milik kelompok keagamaan tertentu,
maupun serangan teror yang ditujukan terhadap warga asing maupun hak milik
pemerintah asing. Tindakan kekerasan ini kerap disebut juga sebagai tindak
terorisme keagamaan (religious terrorism), yang oleh Juergensmeyer
dipandang sebagai “tindakan simbolik” atauperformance violence,
ketimbang suatu tindakan taktis atau strategis. Untuk kasus Indonesia,
contohnya adalah pengeboman di Bali yang dilakukan oleh kelompok Imam Samudra,
dan berbagai serangan bom di Jakarta. Adapun kekerasan berupa serangan teror di
wilayah konflik komunal, maupun insiden yang terkait dengan upaya penyelesaian
konflik di wilayah komunal tertentu seperti Poso, Sulawesi Tengah, dan Ambon,
Maluku, dimasukkan dalam kategori ketiga di atas, yaitu isu komunal.
Kelima, isu
politik-keagamaan, yaitu isu-isu yang melibatkan sikap anti
terhadap kebijakan pemerintah Barat atau pemerintah asing lainnya dan sikap
kontra ideologi/kebudayaan Barat atau asing lainnya.Termasuk ke dalam isu
politik-keagamaan di sini adalah isu penerapan Syariah Islam atau Islamisme,
serta pro-kontra menyangkut kebijakan pemerintah Indonesia yang berdampak pada
komunitas keagamaan tertentu. Terakhir, keenam,
isu lainnya, meliputi isu subkultur keagamaan mistis seperti santet, tenung
dan sebagainya, maupun isu-isu lainnya yang tidak termasuk dalam 5 (lima)
kategori sebelumnya.(Disadur dari Ilham Ali Fauzi dkk, “Pola-Pola Konflik
Keagamaan di Indonesia (1990-2008).http://www.google.co.id/search?client=firefoxa&rls=org.mozilla%3AenUS%3Aofficial&channel=s&hl=id&source=hp&q=jenis+konflik+agama&meta=&btnG=Penelusuran+Google)
2. Penyelesaian
konflik
Gambaran mengenai kemampuan bangsa
Indonesia menjalin kebersamaan dalam perbedaan, bisa dilihat pada hasil kajian
di atas. Rupanya
perbedaan, atau katakanlah konflik masih lebih banyak diekspresikan dalam
bentuk damai dari pada kekerasan.Fakta tersebut bisa jadi hasil dari
serangkaian upaya kreatif dan terus menerus dari masyarakat, terutama kalangan
intelektual untuk mengurangi potensi konflik. Meskipun demikian, tidak berarti
konflik menjadi hilang sama sekali. Potensi konflik masih tetap ada selama
keadilan pada hampir semua aspek kehidupan belum dirasakan secara nyata oleh
masyarakat.
Dalam kaitan dengan konflik, apalagi
kalau dikaitkan dengan agama, kemampuan bangsa Indonesia mengapresiasi konflik
secara lebih positif, seperti terlihat dari data di atas, cukup menggembirakan.
Kemampuan adaptif tersebut bagi Azyumardi Azra, dalam (Idris Taha, ed.
1999:30), bisa jadi karena
disemangati oleh nilai-nilai toleran yang diajarkan Pada sisi tertentu Iptek
gagal memberi makna kehidupan.Agama masih dipandang bisa menghadirkan makna
kehidupan. Modernisme
gagal menyingkirkan agama dari kehidupan masyarakat. Melihat gejala demikian, tidak salah menjadikan
sufisme sebagai salah satu bagian dari upaya menekan konflik.
Nilai-nilai kebersamaan, cinta sebagai
ciptaan dalam sufisme bisa jadi landasan interaksi sosial.
Dalam rangka resolusi konflik, banyak
hal yang perlu dilihat. Dalam waktu singkat, konflik yang ada kalau bersifat
frontal, harus diredakan terlebih dahulu. Bisa dengan pendekatan hukum yang tegas.
Dalam jangka panjang, dicarikan solusi
dengan misalnya mencari akar masalah, mengkampanyekan pendidikan yang
berdimensi pluralistik, dakwah yang penuh hikmah dengan muatan yang tidak
memicu konflik. Yang
tidak kalah pentingnya ialah mewujudkan keadilan dalam semua ranah keidupan
masyarakat, baik ekonomi, politik, sosial, budaya maupun agama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Secara
sosiologis manusia memerlukan tidak hanya manusia lain tetapi juga alam
lingkungan. Dengan demikian interaksi menjadi keniscayaan. Dalam ragam
interaksi, konflik pasti akan hadir sebagai konsekuensi perbedaan
kecenderungan, kebutuhan, nilai budaya, agama, politik, sosial, ekonomi dan
lain-lain.
2. Konflik bisa diartikan pertikaian atau perselisihan yang bisa terjadi antar individu,
kelompok, maupun negara yang bisa mengambil bentuk fisik atau
gagasan/non-fisik. Sementara konflik keagamaan merupakan perseteruan mengenai
nilai, klaim, identitas yang melibatkan isu-isu kegamaan. Selain itu juga bisa
berwujud aksi damai maupun kekerasan.
3. Konflik
bisa disebabkan beberapa faktor seperti: perbedaan pendirian dan perasaan
individu; perbedaan latar belakang kebudayaan; perbedaan kepentingan; perubahan
nilai yang cepat. Konflik keagamaan terjadi karena: klaim kebenaran yang
rigid/kaku; wilayah agama dan suku/adat memudar; dokrin jihad dipahami secara
sempit; kurangnya sikap toleran dan minimnya pemahaman ideologi pluralism.
4. Isu-isu
konflik keagamaan di Indonesia seperti isu moral, isu sektarian, isu komunal,
terorisme, isu politik-keagamaan, dll, bisa diminimalisir dengan adanya
pendekatan hukum yang tegas dan adil, pendidikan dan dakwah yang berdimensi
pluralistik dan penuh kebijaksanaan, serta mengupayakan terciptanya keadilan
dalam semua ranah kehidupan masyarakat, baik itu ekonomi, sosial, politik,
budaya maupun agama.
PUSTAKA ACUAN
Thomas
F. O’ Dea. 1995. Sosiologi Agama: Suatu
Pengenal Awal. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada.
Hendropuspito,
1983. Sosiologi Agama. Jakarta.
Penerbit KANISIUS (Anggota IKAPI)
Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama.Cet. IV;
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.
Sujatmiko, Iwan Gardono. Integrasi dan Disintegrasi Bangsa-bangsa di Dunia. Dalam
Multikulturaslisme, Peran Perempuan dan Integrasi Nasional. Jakarta.
Penerbit Universitas Atma Jaya, 2008.
Sunarto, Kamanto. Pengantar
Sosioogi. Lembaga Penerbit Fakultas UI, 2004.
Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada
Tunner. Kamus Sosiologi. Cetakan Pertama. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Ihromi. Bunga Rampai: Sosiologi Keluarga. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia..
Elly M. Setiadi & Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fatkta dan
Gejala Permasalahan Sosial; Teori, Aplikasi dan Pemecahannya. Cetakan Kedua. Kencana Prenada Media Group.
Jakarta.
Ritzer, George.Modern Sociological Theory 4th ed.
Singapore: The McGraw-Hill Companies Inc, 1988.
Stewart, Edward C. American Cultural Patterns: A
Cross-Cultural Perspective Cet. XIII; America: Intercultural Press, 1985.
Sumber Lain
Fauzi, Ihsan Ali dkk.
“Pola-Pola Konflik Keagamaan di Indonesia (1990-2008), http://www. konflik+agama diakses tgl., 15 Mei 2015.
http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik,
14 Mei 2015, 19:02.
Tags : Jurnal Sosiologi